AMAN SORONG RAYA PETAKAN WILAYH ADATMU SEBELUM DIPETAKAN OLEH PIHAK LAIN

Foto tiga marga Pulau Salawati, 22 Desember 2023, lebih dari belasan orang perwakilan komunitas adat ( marga) Malayamuk, Moifilit dan Kalapain bersama Pengurus Daerah AMAN Sorong Raya ( Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)  Kota Sorong provinsi Papua Barat Daya (23/12/2023). Pulau Salawati, 22 Desember 2023, lebih dari belasan orang perwakilan komunitas adat ( marga) Malayamuk, Moifilit dan Kalapain bersama Pengurus Daerah AMAN Sorong Raya ( Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) melakukan kegiatan musyawarah perencanaan pemetaan partisipatif wilayah adat, marga di pulau Salawati, kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.Kegiatan tersebut berlangsung selama dua hari mulai dari 22 sampai 23 Desember 2033.

Dalam kegiatan tersebut PD AMAN Sorong Raya bersama tiga marga membahas rencana pemetaan partisipatif wilayah adat beserta akan menyiapkan dokumen data sosial dan sejarah kepemilikan lahan oleh masing-masing marga, dan akan mendorong musyawarah bersama marga lain yang bersebelahan dengan mereka.

Feki Mobalen, Ketua BPH AMAN Sorong Raya, mengatakan, Petakan Wilayah adatmu sebelum dipetakan oleh pihak lain.
kegiatan ini kami lakukan sesuai dengan mandat organisasi AMAN tentunya pertemuan ini adalah tahap awal untuk mendorong musyawarah mufakat bersama komunitas adat agar memahami tujuan pemetaan wilayah adat serta menyiapkan data sosial komunitas dan sejarah kepemilikan wilayah adat secara tertulis, kami telah bersepakat bersama komunitas adat untuk mendorong kegiatan musyawarah bersama komunitas lainya di awal bulan Januari dan sekalian melakukan pelatihan teknisi tentang proses pemetaan kepada komunitas Malayamuk,Moifilit dan Kalapain, setelah itu mereka sendiri bersama PD AMAN Sorong Raya akan memulai melakukan proses pemetaan pada bulan februari tahun 2024 mendatang.

Lanjut, Feki,”pemetaan wilayah adat bagi komunitas adat di tanah Papua saat ini sangat dibutuhkan karena, saat ini negara selalu mengutamakan pembangunan infrastruktur, industri ekstraktif dan penambahan pemekaran daerah otonom baru dan mengesampingkan pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak-hak dasar masyarakat adat Papua.
Oleh karena itu kami berharap melalui Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat ini, tentunya pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat untuk mengembalikan penguasaan hutan dan tanah kepada masyarakat adat secara administratif negara ini, melalui pengakuan hutan dan tanah adat kepada masyarakat adat Papua.

Perwakilan marga, Charles Moifilit mengatakan, ” kami bersyukur setelah mendengar penjelasan tentang tujuan pemetaan partisipatif wilayah adat oleh anak-anak kami di PD AMAN Sorong Raya, setelah kegiatan ini kami akan mendorong musyawarah bersama seluruh anggota marga untuk melengkapi data sosial kami dan menulis sejarah kepemilikan wilayah adat, setelah itu kami akan turun ke wilayah adat kami untuk melalukan pemetaan.

Tentunya tidak hanya sampai di pemetaan kami berharap pemerintah daerah dan pemerintah pusat bisa mengakui hutan dan tanah adat kami, agar kami bisa mengelola dan melestarikan wilayah adat untuk keberlangsungan hidup Atar generasi marga Moifilit di wilayah adat nya sendiri.” Kata, Charles Moifilit, perwakilan marga Moifilit.

Perwakilan perempuan adat, Fransina Kalapain, menambahkan, melalui proses pemetaan wilayah adat ini tentunya kami akan bersama-sama dengan komunitas sebagai upaya untuk melindungi tanah dan hutan adat kami dari keserakahan pemerintah dan korporasi yang saat ini sedang mengincar hutan adat kami di pulau Salawati untuk melakukan bisnis karbon, saya sebagai perempuan berharap pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam hal ini menteri lingkungan hidup dan kehutanan RI, tidak menerbitkan izin dalam bentuk apapun kepada perusahaan PT perkasa bumi hijau unit I dengan area yang dimohon seluas 69.768 hektare di pulau Salawati kabupaten Raja Ampat dan kabupaten Sorong, kami masyarakat adat ingin mengelola tanah dan hutan adat kami sendiri. Kata, Fransina Kalapain.

 

di tulis oleh gamaliel.m.kaliele

mengatahui ketua BPH Aman sorong

vecky.w.mubalen

MAKLUMAT KONGRES KEBUDAYAAN INDONESIA 2023: KEBUDAYAAN SEBAGAI DAYA TRANSFORMASI KEINDONESIAAN

foto saat menokok sagu

foto ilistrasih saat mayakat adat menokok sagu

 

Budaya mengandung kekuatan besar, namun sekaligus rentan, karena senantiasa
menanggapi dinamika yang semakin kompleks. Oleh karenanya budaya sebagai arena untuk tumbuh
bersama, harus senantiasa dirawat dengan penuh kesadaran, memastikan agar semua ikut, tak ada
yang tertinggal, bergerak maju dan berkelanjutan. Kongres Kebudayaan 2023, dipenuhi kegairahan
dan harapan dalam menghadapi dunia yang telah beralih rupa dengan cepat. Kegairahan muncul dari
semangat kaum muda menghidupi kebudayaan di akar rumput, serta dari harapan untuk
mewujudkan tatanan sosial baru.

Pada saat yang sama, tiga persoalan semesta membayangi dan menjadi keprihatinan kolektif:
Pertama, krisis sosial ekologis yang hadir, dekat dan nyata: Perubahan iklim, perampasan tanah,
akses pada air dan pangan, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan lingkungan dan merosotnya
daya dukung bumi. Kedua, disrupsi teknologi yang dahsyat dan pesat. Daya pikir dan daya cipta
manusia berujung pada lahirnya kecerdasan buatan yang bagaikan pisau bermata dua dalam
menentukan arah peradaban: membantu kemajuan, dan sekaligus mengambil alih kendali. Kemajuan
teknologi digital melahirkan masalah-masalah kesehatan mental yang baru. Ketiga, ancaman perang
global yang berlarut, menyertai bangkitnya cara penyelesaian konflik antarkelompok yang saling
memusnahkan.

Di hadapan tantangan dan kompleksitas krisis yang terbuka ini, keseluruhan pengalaman
olah pikir di Kongres, serta penyegaran inderawi dan jiwa di Pekan Kebudayaan Nasional (PKN)
menunjukkan bahwa keanekaragaman dan kelenturan budaya Nusantara yang bertumpu pada
budaya air merupakan daya transformasi utama menuju keIndonesiaan yang sintas dan unggul di
masa depan.
Benang merah perdebatan selama kongres mengarah pada kebutuhan akan dua hal pokok
untuk mengawal proses transformasi tersebut, yakni penguatan budi-daya (cara-cara inovatif dan
kreatif), serta pemuliaan daya-budi (panduan etika dan moralitas baru untuk mengarungi guncangan
perubahan).

Melalui percakapan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) yang berlangsung selama
23-27 Oktober 2023, dapat dipanen sedikitnya sepuluh gagasan berikut:
1. Kebudayaan sebagai daya utama dalam transformasi ke-Indonesiaan merupakan hasil
kesepakatan yang terus menerus berproses untuk mengolah dan mengembangkan
keanekaragaman dan kekayaan hayati dan budaya dalam mengarungi perubahan global yang
multi-dimensi.

2. 2024-2029 merupakan babak penting dalam meletakkan pemajuan kebudayaan sebagai
kebutuhan dasar publik, dan sekaligus panduan transformasi ekonomi, sosial, dan ekologi,
melalui tata kelola yang sehat, dan kerja para pelaku dan pandu-pandu budaya pada
berbagai bidang, tingkatan dan sektor. Visi Indonesia 2045 mempersyaratkan terbentuknya
pandu-pandu yang berbudi-daya dan berdaya-budi pada babak ini.
3. Kebebasan berekspresi membuka ruang yang nyaman dan aman, inovasi cara-cara baru dan
kreativitas merupakan landasan pemajuan kebudayaan, yang perlu didukung oleh platform
ekonomi budaya agar berkembang secara organik dan berkelanjutan.

4. Pendidikan yang berkebudayaan merupakan sekolah kehidupan, yang mengembangkan
kemampuan belajar untuk menghidupi keanekaragaman dan kekayaan budaya, kecakapan
adaptasi terhadap perubahan teknologi dan ekologi, serta sikap merdeka yang berintegritas.
Pengembangan sumberdaya insani dan teknologi untuk menjadi penggerak di bidang
kebudayaan adalah kunci ketangguhan Indonesia di masa depan, yang perlu difasilitasi dan
didukung secara terintegrasi dan lintas sektoral oleh semua pemangku kepentingan.

5. Transformasi tata kelola Dewan Kesenian dan atau Dewan Kebudayaan menjadi prioritas
kelembagaan untuk membangun ekosistem pemajuan kebudayaan. Musyawarah Kesenian
Nasional menjadi platform bagi para seniman untuk hadir dan tampil berperan secara lebih
dinamis dan terukur. Taman budaya, museum, galeri dan kawasan warisan budaya
dikembangkan sebagai bentuk-bentuk layanan umum yang dapat diakses publik secara
berkelanjutan.

6. Perjumpaan budaya lintas batas di tataran desa dan kota yang partisipatif dan inklusif
direkatkan melalui platform Pekan Kebudayaan Nasional. Perhelatan digerakkan oleh cara
kerja pe-lumbung-an (commoning) dan pengorganisasian kolektif secara organik untuk
berbagi sumberdaya dari proses semai, tanam, panen, hingga simpan, kumpul dan bagi di
tataran lokal serta jalinan antar komunitas global. Indonesia menghadirkan kembali Bandung
Spirit melalui kerjasama kreatif dan diplomasi budaya.

7. Pemanfaatan teknologi digital merupakan keniscayaan untuk mengolah dataraya Pokok
Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), Indeks Kebudayaan, Program Indonesiana, dan berbagai
hasil panen budaya masyarakat. Kecerdasan buatan dioptimalkan untuk memutakhirkan
warisan budaya dan inspirasi para maestro, empu-empu teknologi tradisional dalam proses
regenerasi, transfer ilmu, dan inovasi. Di lain pihak, gangguan kesehatan mental dan perilaku
negatif sebagai akibat dari konsumsi imaji dan budaya layar (screen culture) dari teknologi
digital akan semakin membanyak, dan memerlukan cara-cara baru penanggulangan dan
pencegahannya.

8. Masyarakat adat dan lokal lainnya adalah subjek yang berdaulat atas wilayah, sumber daya
alam, dan sumber pengetahuan budaya, serta merupakan pengusung keanekaragaman
budaya dan hayati. Keanekaragaman budaya dan hayati juga adalah modal bagi pengelolaan
pariwisata ekologis, Program Sirkuit Perjumpaan Budaya, dan Lawatan Widyawisata yang
terpadu, serta sarana-sarana lain untuk pengembangan rasa cinta Tanah Air.

9. Indonesia memerlukan suatu badan amatan pemajuan kebudayaan (Cultural Observatory)
yang memantau, mengkaji perubahan budaya, dan merumuskan kebijakan dengan
pendekatan holistik, trans- dan multi-disiplin.

10. Model APBN/D diselaraskan dengan kerangka kerja kebudayaan, termasuk sistem perpajakan
dan insentif yang mendorong pemajuan kebudayaan. Pelayanan pemerintah di bidang
kebudayaan kepada masyarakat tidak dapat dilakukan secara mekanis-birokratis, dan
dilaksanakan dengan penuh pelibatan dan partisipasi masyarakat yang penuh dan bermakna,
dengan pemahaman atas narasi kebudayaan, dan imajinasi-imajinasi kreatif para pelaku dan
pandu budaya.

Keberadaan dana kebudayaan pada tingkat nasional telah mendorong
kegairahan pegiat budaya untuk berkarya, berinteraksi dan berpartisipasi. Akses terhadap
dana kebudayaan perlu diperluas ke seluruh wilayah Nusantara secara adil untuk
menguatkan ekosistem kebudayaan dengan tata-kelola yang transparan dan akuntabel.
Hasil panen Kongres Kebudayaan Indonesia 2023 bermuarakan pada urgensi terbentuknya
sebuah kementerian yang secara khusus menangani kebudayaan secara terpadu, sebagai wujud
hubungan dialektis antara kebudayaan, tanah air dan kebangsaan yang ditenun dalam nilai-nilai
Sumpah Pemuda 1928.
Jakarta, 27 Oktober 2023

 

PENANGGUNJAWAB BPH AMAN SORONG RAYA

KETUA. BPH. VECKY.W.MOBALEN

INFOKOM

PENULIS.G.M.KALIELE

17 ORGANISASI DAN MASYARAKAT ADAT SORONG RAYA DUKUNG PERJUANGAN SUKU AWYU DAN DESAK PTUN JAYAPURA MEMBERIKAN KEADILAN KEPADA SUKU AWYU

foto ilustrasih petah tanah papua

foto ilustrasih petah tanah papua kota Sorong provinsi Papua Barat Daya Hari Selasa.(31/10/2023)

 

Hari Selasa Puku 04.00 WIT selesai Tempat diskusi ditaman faith kota sorong distrik sorong barat propinsi papua barat daya. Dalam diskusi yang berlangsun selam tiga jam Itu  sangat menarik sekali di karenkan banyak keterwakilan komunitas dari berbagai lembaga masyarakat adat yang hadir dapat memberikan dukunganya kepada suku Awyu di sidang PTUN Jayapura Menjelan putusan Setelah menjalani proses sidang selama tujuh bulan lebih (Mei – November) 2023, Majelis Hakim PTUN Jayapura akan memutuskan gugatan lingkungan hidup salah satu pimpinan Suku Awyu pada tanggal 02 November 2023.
Oleh sebab itu kami soladeritas pemuda adat masyarakat adat dan organisasi gerakakan sosial sesorong raya minta PTUN Jayapura harus berpihak kepada masyarakat Awyu

Perlu di ketahui Perjuangan Suku Awyu dalam Upaya mempertahankan hutan adatnya dalam gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim telah memasuki babak akhir. Kamis, 2 November 2023 Majelis Hakim PTUN Jayapura akan memutuskan Suku Awyu terhadap Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) terkait SK Kelayakan Lingkungan PT Indo Asiana Lestari. Persidangan ini merupakan litigasi iklim pertama dalam sejarah Masyarakat Adat dari Papua . kata ayup.paa kordinator Gerakan Selamatkan Manusia, Tanah dan Hutan Malamoi

FOTO

Lanjut ayup .paa menjelaskan bahwa Gugatan ini dilatarbelakangi terbitnya Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 Tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Dengan Kapasitas 90 Ton TBS/Jam Seluas 36.096,4 Hektar ke PT Indo Asiana Lestari. PT Indo Asiana Lestari merupakan perusahaan modal asing yang dikendalikan Perusahaan asal Malaysia All Asian Group.

Menurut Hendrikus Frengky Woro, dengan melakukan gugatan ini adalah cara melawan yang terhormat dan bermartabat bagi dirinya dan suku Awyu. Ruangan Sidang Pengadilan menjadi arena baru perjuangan Masyarakat adat Papua dalam Upaya mempertahankan tanah, hutan dan haknya sebagai warga negara. Perjuangan yang diemban oleh Hendrikus bukan hanya bagi kepentingan dirinya sendiri dan suku Awyu saja, akan tetapi menjadi penting bagi keberlangsungan semua manusia di bumi yang saat ini sedang berada dalam masa pendidihan global.

Perjuangan Suku Awyu Bersama Tim Hukum Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua telah mendapatkan solidaritas dan dukungan luas dari masyarakat dan aktivis dari berbagai daerah di Papua dan luar Papua bahkan luar Indonesia. Petisi yang disusun Gerakan Solidaritas Untuk Selamatkan Hutan Adat Papua ditandatangani 252 lembaga dan individu . Dukungan awal telah diserahkan ke Majelis Hakim dan akan bertambah hingga menjelang putusan nanti. Kata Samuel.moifilit.kordinator Greenpeace Indonesia di sorong

Lanjutnya samul menjelaskan bahwa Selain itu, dukungan juga mengalir dalam bentuk amicus curiae (sahabat peradilan) yang dikirimkan sejumlah pihak ke PTUN Jayapura, mulai dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia , ahli litigasi iklim I Gede Agung Made Wardana , Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno , dan Koalisi Kampung untuk Demokrasi Papua serta Greenpeace Indonesia .

Sejak masa persidangan Gugatan Lingkungan Hidup dan Perubahan Lingkungan ini berlangsung, mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam AMPERA MADA terus mengawal persidangan di Jayapura. Hari ini, Solidaritas Pemuda Adat, Masyarakat Adat dan organisasi gerakan sosial se-Sorong Raya juga turut mengambil bagian dalam mengawal persidangan ini. Hal ini dilakukan karena menurut kami, apa yang terjadi di Suku Awyu juga terjadi di wilayah Sorong Raya yang juga berhadapan dengan investasi perkebunan kelapa sawit (PT Sorong Agro Sawitindo dan lain-lain) yang akan memberikan dampak yang sama kepada Suku MOI serta perjuangan ini memiliki tujuan yang sama yaitu demi keberlangsungan suku dan generasi mendatang. Perjuangan Suku Awyu juga membawa harapan kepada Pemuda dan Masyarakat adat di Sorong Raya bahwa perjuangan ini adalah perjuangan yang terhormat dan tidak akan pernah bisa dilakukan sendiri tetapi merupakan perjuangan bersama seluruh Masyarakat Adat Papua.

Oleh karena itu, maka kami yang tergabung dalam “SOLADIRITAS UNTUK SUKU AWYU” menuntut :
1. Mendesak Majelis Hakim PTUN Jayapura untuk memberikan keadilan kepada Masyarakat Adat Suku Awyu
2. Kami mendukung penuh perwakilan Suku Awyu untuk membela hak-hak Masyarakat Adat dan Tanah Adat Papua
3. Mendesak Pemerintah Pusat Republik Indonesia, dalam hal ini Menteri LHK untuk segera mencabut semua ijin indusri extratif dari seluruh Tanah Adat Papua
4. Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera mencabut status kawasan ekonomi khusus (KEK) di kabupaten sorong
5. Mendesak Kementerian LHK segera mencabut perijinan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan ijin PBPH di seluruh Tanah Adat Papua.

Nama nama organisasi di Sorong raya yang hadir dalam diskusi ini dan memberikan mendukung kepada suku Awyu jelan putusan tanggal 2 di PTUN Jayapura

1. Gerakan Selamatkan Manusia, Tanah dan Hutan Malamoi
2. Segiswa
3. Anak Asli Daerah (Asrida)
4. Bumi A3
5. Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP)
6. Pemuda gereja
7. Pemuda Adat Salkma
8. Paralegal HAM dan Linkungan Papua
9. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN – Region Papua)
10. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
11. AMAN Sorong Raya
12. AMAN Malamoi
13. LBH PAPUA Pos Sorong
14. Belantara Papua
15. Pusaka Bentala Rakyat
16. Greenpeace
17. Papuan voices sorong raya

 

MENGATAHUI KETUA BPH AMAN SORONGRAYA
VECKY.M.MOBALEN
PENULIS  .G.M.KALIELE

 

Keluarga Besar Pd AMAN Sorong Raya Mengucapkan. SELAMAT HARI KEBANGKITAN MASYARAKAT ADAT.

20 Tahun lalu tepatnya 17 Maret 1999 seluruh Tokoh adat se Nusantara berkumpul di Jakarta dalam rangka meyepakati bersama tentang pentingnya posisi Masyarakat adat didalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena selama orde Baru Masyarakat begitu terpinggirkan dan termajinalkan dan dipandang sebelah mata.

Banyak ruang ruang hidup Masyarakat Adat dirampas atas nama negara, nilai niali yg dianut yg salah satunya adat tradisi yg dilaksanakan turun temurun dianggap perilaku yg terbelakang dan dianggap Masyarakat yg tertinggal, maka berdasarkan perlakuan semacam itu oleh penguasa maka seluruh tokoh adat se Nusantara bersepakat dan bertekad untuk mewujudkan 3 cita cita besar Masyarakat Adat yaitu,

#Berdaulat secara politik

#Mandiri secara ekonomi

#Bermartabat secara budaya.

Tiga cita cita besar ini perlu diwujudkan untuk membangun kesetaraan Masyarakat adat dengan komponen Bangsa didalam mendapatkan Hak sebagai Masyarakat Adat.

Yang di ataur oleh hukum Internasional dan Deklarasi Hak Asasi manusia.

Masyarakat Adat mempunyai hak terhadap penikmatan penuh, untuk secara bersama-sama atau secara sendiri – sendiri, semua hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar yang diakui dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan hukum internasional tentang hak asasi manusia.

Masyarakat Adat dan warga-warganya bebas dan sederajat dengan semua kelompok-kelompok masyarakat dan warga-warga lainnya, dan mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam menjalankan hak-hak mereka, khususnya yang didasarkan atas asal-usul atau identitas mereka.

Masyarakat Adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut, mereka secara bebas menentukan status Politik mereka dan secara bebas mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

Masyarakat Adat mempunyai hak untuk menjaga dan memperkuat ciri-ciri mereka yang ada dibidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan institusi-institusi budaya, serta tetap mempertahankan hak mereka untuk berpatisipasi secara penuh, jika mereka menghendaki, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka.

Setiap warga masyarakat Adat mempunyai hak atas suatu kebangsaan.

Warga-warga masyarakat adat memiliki hak utuh atas kehidupan, keutuhan fisik dan mental, kemerdekaan dan keamanan sebagai seseorang.

Masyarakat Adat memiliki hak kolektif untuk hidup bebas, damai dan aman sebagai kelompok masyarakat yang berbeda dan tidak boleh menjadi target dari tindakan genosida apapun atau tindakan-tindakan pelanggaran lainnya, termasuk pemindahan anak-anak secara paksa dari sebuah kelompok ke kelompok lainnya.

Masyarakat adat dan warga-warganya memiliki hak untuk tidak menjadi target dari pemaksaan percampuran budaya atau pengrusakan budaya mereka.

Negara akan menyediakan mekanisme yang efektif untuk mencegah, dan mengganti kerugian atas:

(a) setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau berakibat pada hilangnya keutuhan mereka sebagai kelompok masyarakat yang berbeda, atau dari nilai-nilai kultural atau identitas etnik mereka;

(b) setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau berakibat pada tercerabutnya mereka dari tanah, wilayah atau sumber daya mereka;

(c) setiap bentuk pemindahan penduduk yang mempunyai tujuan atau berakibat melanggar atau mengurangi hak apa pun kepunyaan mereka;

(d) Setiap bentuk pemaksaan pencampuran budaya atau penggabungan dengan budaya lain;

(e) setiap bentuk propaganda yang mendukung atau menghasut diskriminasi rasial atau diskriminasi etnis yang ditujukan langsung untuk terhadap mereka.

Jangan menghilangkan atau merusak budaya dari masyarakat adat ini, dan kemudian menggantikan dengan budaya campuran dari luar masyarakat adat setempat. Oleh karena itu apabila ada terjadi pelanggaran mendasar sesuai Pasal 8 ayat 1, ayat 2 bagian a, b, c, d, dan e maka wajib dan harus dibayarkan ganti rugi (Kompensasi).

Masyarakat Adat dan warga-warga Adat mempunyai hak untuk menjadi bagian dari suatu komunitas atau bangsa, sesuai dengan tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan dari komunitas atau bangsa tersebut. Tidak ada diskriminasi apa pun yang boleh timbul akibat dari penikmatan hak tersebut.

Masyarakat Adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil.

Dilarang memindahkan masyarakat Adat dengan paksa dan dengan penuh teror dan intimidasi yang berlebihan, tanpa menghiraukan hak-hak kebebasan mereka.

  1. Masyarakat Adat mempunyai hak untuk mempraktikkan dan memperbarui tradisi-tradisi dan Adat budaya mereka.

Hal ini meliputi hak untuk mempertahankan, melindungi dan mengembangkan wujud kebudayaan mereka di masa lalu, sekarang dan yang akan datang, seperti situs-situs arkeologi dan sejarah, artefak, disain, upacara-uparaca, teknologi, seni visual dan seni pertunjukan dan kesusasteraan.

  1. Negara-negara akan melakukan pemulihan melalui mekanisme yang efektif termasuk restitusi, yang dibangun dalam hubungannya dengan masyarakat Adat, dengan rasa hormat pada kekayaan budaya, intelektual, religi dan spiritual mereka, yang telah diambil tanpa persetujuan bebas dan sadar dari mereka, atau yang melanggar hukum-hukum, tradisi dan Adat mereka.
  2. Masyarakat adat mempunyai hak untuk memperbaharui, menggunakan, mengembangkan dan mewariskan kepada generasi-genarasi yang akan datang sejarah, bahasa, tradisi lisan, filsafat, sistem tulisan dan kesusasteraan, dan untuk menandakan dan menggunakan nama mereka sendiri untuk komunitas-komunitas, tempat-tempat dan orang-orang.
  3. Negara-negara akan mengambil upaya-upaya efektif untuk memastikan bahwa hak ini terlindungi dan juga untuk memastikan bahwa mereka dapat mengerti dan dimengerti dalam proses politik, hukum dan administratif, di mana diperlukan melalui ketentuan penafsiran atau cara lain yang sesuai.

Semua bentuk budaya, seni, tradisi, sejarah masyarakat Adat, harus diwariskan kepada generasi baru agar menjaga dan melestarikannya. Termasuk penempatan nama-nama kampung, jalan, kota dan lain-lain.

  1. Masyarakat Adat memiliki hak untuk membentuk dan mengontrol system pendidikan mereka dan institusi-institusi yang menyediakan pendidikan dalam bahasa mereka sendiri, dalam suatu cara yang cocok dengan budaya mereka tentang pengajaran dan pembelajaran.
  2. Warga-warga masyarakat Adat termasuk anak-anak memiliki hak atas pendidikan yang diselenggarakan oleh Negara dalam semua tingkatan dan bentuk, tanpa diskriminasi.
  3. Negara-negara, bersama dengan masyarakat Adat akan mengambil langkah-langkah yang efektif, agar warga-warga Adat terutama anak-anak,termasuk warga-warga yang tinggal di luar komunitas mereka, untuk memiliki akses, jika mungkin, atas pendidikan dalam budaya mereka sendiri dan disediakan dalam bahasa mereka sendiri.
  4. Masyarakat Adat mempunyai hak atas martabat dan keragaman budaya, tradisi, sejarah, dan aspirasi-aspirasi mereka yang secara jelas tercermin dalam semua bentuk pendidikan dan informasi publik.
  5. Negara-Negara akan mengambil langkah-langkah yang efektif, dalam konsultasi dengan masyarakat yang bersangkutan, untuk melawan prasangka dan menghapus diskriminasi dan untuk memajukan toleransi, saling pengertian yang baik antara masyarakat Adat dengan semua unsur masyarakat yang lain.

Dilarang melanggar hak-hak masyarakat Adat, yang sesuai dengan Pasal 15 ayat 1 dan ayat 2 ini. Sebab hak-hak ini adalah hak yang fundamental, dan tidak boleh dilanggar.

  1. Masyarakat Adat mempunyai hak untuk membentuk media mereka sendiri dalam bahasa-bahasa mereka sendiri, dan memiliki akses terhadap semua bentuk media umum tanpa diskriminasi.
  2. Negara-negara akan mengambil tindakan-tindakan yang efektif untuk memastikan bahwa media yang dimiliki oleh negara sepatutnya mencerminkan keragaman budaya masyarakat Adat. Negara, tanpa prasangka memastikan kebebasan penuh atas ekspresi, dan mendorong media yang dimiliki perseorangan untuk mencerminkan secara cukup keanekaragaman budaya masyarakat Adat.

Sudah seharusnya tidak ada kriminilasi tokoh adat ketika memperjuangkan wilayah adatnya karena sebelum negara ada, bahkan jauh sebelum penjajahan sebelum zaman kerajaan Masyarakat Adat sudah ada melalui kelompok kelompok kecil Masyarakat yg setiap kelompoknya memiliki teritorial dihormati dan kaidah Hukum yg ditaati oleh masing masing komunitas.

Dengan Penuh Semangat:

Keluarga Besar PD AMAN Sorong Raya Mengucapkan.

Selamat Hari Kebangkitan Masyarakat Adat

#2DekadeMasyarakatAdatBangkit

#BangkitBersatu

#BerdaulatMandiriBermartabat

#20TahunAMAN

#MembelaMelindungiMelayani

#MasyarakatAdat

#IndigenousPeoples

#20YearsAMAN

#HKMAN2019

 

Feki Mobalen

BPH AMAN Sorong Raya

Pernyataan Sikap AMAN Sorong Raya Terkait Pengepungan, Penyerangan Mahasiswa Papua dan Stigma Rasis ‘Monyet’ terhadap Orang Papua.

AMAN Sorong Raya mengutuk keras pengepungan, penyerangan dan stigma terhadap orang Papua yang dikatakan “MONYET” oleh sekelompok anggota organisasi masyarakat (ormas) dan aparat negara (polisi dan tentara) terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Kasus ini merupakan yang kesekian kalinya terjadi. Tahun 2016 peristiwa serupa terjadi di Jogja bagi kawan-kawan mahasiwa. Pada 2018 julukan ini juga dituduhkan bagi orang Papua: Saudara Natalis Pigai dan di 2019 kata monyet itu terjadi kembali bagi orang Papua yang ironisnya itu terjadi pada saat peringatan 74 tahun Indonesia merdeka.

Secara khusus kami mengutuk anggota TNI dan Polri yang terlibat sebagai dalang ricuh dan stigma terhadap mahasiswa Papua. Dan juga tindakan yang dilakukan oleh ormas ini secara tidak langsung menyalakan api dalam sekam di Papua dan tidak menunjukkan mereka sebagai orang yang bermartabat dan beragama.

Indonesia sedang menyalakan api dalam sekam, menyalakan api kemarahan bagi orang Papua. Cepat atau lambat orang Papua akan memilih bernegara sendiri lepas dari Indonesia. Karena lebih baik monyet sekolah di rumah manusia daripada manusia cari hidup di rumah monyet.

Papua diintegrasi (anekesasi) oleh Indonesia pada 1 Mei 1963. Empat tahun kemudian (1967) wilayah Papua dijadikan target pertama penanaman modal asing di Indonesia.

Lewat Undang Undang Penanaman Modal Asing yakni perusahan raksasa PT. Freeport pada tahun 1967 diizinkan Indonesia mencaplok 2,6 juta hektar yang menyebabkan rusaknya tatanan masyarakat Papua di Timika. Belum lagi dengan dibukanya perusahaan minyak dan gas, serta perusahaan sawit pertama di Sorong tahun 1982 dan Keerom pada tahun 1984, serta mega proyek MIFEE di Merauke yang telah merusak lebih dari puluhan juta hektar wilayah masyarakat adat hingga sekarang ini. Dan atas nama pembangunan, pemerintah menggunakan militer serta berbagai kekuatan legal Indonesia demi memuluskan pembangunan dan kepentingan ekonomi nasional serta investasi asing, yang mengakibatkan pelanggaran kemanusiaan secara masif di Papua hingga sekarang ini.

Setelah berakhirnya orde baru dan digantikan dengan era reformasi, percepatan pembangunan dilakukan dengan mengubah pola sentralistik menjadi desentralisasi (UU 22 tahun 1999) dan diberikan otonomi khusus (Tap MPR IV/1999) sebagai langkah Indonesia untuk meredam aspirasi merdeka rakyat Papua. Selain itu selama proses pembangunan (investasi), kaum transmigran terus berdatangan untuk mencari hidup dan sekaligus menjalankan program pemerataan penduduk dan didukung oleh sistem negara, sehingga menciptakan diskriminasi antara orang Papua dan pendatang akibat kepentingan pembangunan negara, yang terdampak pada terpinggirnya orang Papua di tanahnya sendiri serta konfilik-konfilik horizontal yang merupakan kegagalan negara dalam menunjung nilai-nilai hak asasi manusia.

Dan selama berlangsungnya pemerintahan ala otonomi khusus di Papua, berbagai investasi masuk begitu cepat dan masif, mulai dari kepentingan pendapatan negara hingga kepentingan pemodal asing, dan menurut catatan Papua dalam Angka Tahun 2018 serta Oke Finance bahwa jumlah perusahaan dan industri di Papua telah mencapai 9.053 yang tersebar di seluruh Tanah Papua. Serta Freeport yang menghasilkan 116 miliar per hari (catatan ahli Geolog pada tahun 2017), lalu MIFEE dan perusahaan sawit besar di Papua yang telah meraup keuntungan hingga 200 triliun rupiah (Sawit Watch 2017), dan masih banyak lagi kepentingan investasi lainnya yang dilancarkan atas nama pembangunan dan ekonomi nasional Indonesia yang telah menghancurkan peradaban Orang Asli Papua.

Dan eksistensi investasi tersebut didukung penuh oleh kekuatan dan kebijakan negara, seperti kata Presiden Indonesia, Joko Widodo pada 12 Maret 2019: “…bupati, walikota, gubernur, kalau ada investor yang berkaitan dengan industri apa pun, tutup mata, beri izin”, dalam Rapat Kordinasi Nasional Investasi, Tangerang. Pernyataan ini secara resmi melegitimasi apa pun kepentingan negara dan pemodal demi kemajuan ekonomi dan target pembangunan Indonesia.

Inti Kebun Sejahtera yang juga anak perusahaan KLIG beroperasi sejak 2008. Awalnya PT. IKS yang beroperasi di Salawti sejak 2008, hanya memegang Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah seluas 4.000 hektar. KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) di Kabupaten Sorong yang hampir menguasai kawasan di wilayah sub Suku Moi Segin dan keberadaanya di dalam wilayah masyarakat adat ini berpotensi merampas wilayah adat Moi. Dan KEK ini untuk siapa?

Kebijakan percepatan perluasan lahan perkebunan sawit yang mencaplok wilayah adat masih di Kabupaten Sorong dan proses invansi perluasan pun masih sedang terjadi dan meluas ini juga berada di dalam wilayah masyarakat Adat Moi. Kebijakan Perhutanan Sosial dan TORA di wilayah adat yang melecehkan konstitusi; kenapa demikian dikarenakan kebijakan tersebut bertentangan dengan Undang Undang 21 tentang Otonomi Khusus Papua atau bagi masyarakat adat Papua, penyerobotan tanah / wilayah masyarakat adat yang masif untuk investasi, masuknya transmigrasi non Papua yang tinggi di wilayah adat Moi dan ini berdampak pada teracamnya pangan lokal mematikan pedagang lokal Papua atau komunitas adat yang sedang berkembang di wilayah adat.

Karena itu, AMAN Sorong Raya mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan sebagai berikut:

  1. Kapolda Papua dan Papua Barat segera memastikan rasa aman bagi rakyat Papua di mana pun berada di Papua dan Papua Barat.
  2. Gubernur Surabaya segera bertanggung jawab dengan situasi yang terjadi terhadap mahasiwa Papua dan Kapolri menindak tegas aparat negara dan ormas yang terlibat dalam aksi-aksi kekerasan terhadap 43 mahasiswa asal Papua di Surabaya.
  3. Negara harus serius untuk penyelesaian kasus rasis yang terjadi bagi orang Papua.
  4. Tarik semua pasukan TNI dan Polri yang bertumpukan dan juga baru berdatangan di Papua.
  5. Presiden Jokowi segera memberikan jaminan bagi rakyat Papua; rasis tidak akan ada lagi bagi orang Papua.
  6. Kekerasan dan stigma monyet terhadap orang Papua sangat merendahkan harkat dan martabat orang Papua dan berpotensi konflik berkepanjangn bagi orang Papua dan non Papua. Oleh karena itu, AMAN Sorong Raya mengutuk tegas.

 

Sorong 20 Agustus 2019

Fecki Mobalen

Ketua BPH AMAN Sorong Raya

 

Perubahan Polah Makan Di Dapur Mama- mama Papua di Kampung waijan dan Polah Pengolahan Sagu di kampung Malawor

Kampung waijan

Asal mulah nama kampung waijan adalah dari nama sebuah kali yang berada di lokasi tersebut. Sejak tahun 1984 penduduk kampung waijan mulai dipenuhi oleh penduduk transmigrasi. Dengan jumblah penduduk pada waktu itu 200 kk, yang terdiri dari penduduk lokal 50 kk, dan penduduk transmigrasi 150 kk, dengan mata pencarian penduduk waijan adalah mayoritas sebagai petani sagu dan petani sawah.

Kampung waijan merupakan salah satu kampung di Distrik Salawati tengah Kabupaten Raja – Ampat, Provinsi Papua Barat, dan luas kampung waijan 2450 Ha. Status kampung waijan adalah sebagai kampung pemekaran dari kampung kalobo yang masyarkatnya adalah sebagian besar adalah masyarkat waijan yang dimekarkan dan dulu masyarakat waijan terdiri dari masyarakat adat dan masyarkat transmigrasi pada tahun 1984, dan pada saat itu kampung waijan dulunya masi bergabung dengan kampung kalobo dan kampung waijan sendiri masi masuk kabupaten Sorong, setelah masuk kabupaten Raja-Ampat pada tahun 1987 barulah dibentuk suatu pemerintahan kampung waijan.

Hubungan Pribumi dengan Dusun Sagu

Di kampung waijan, kehidupan masyarakt pribumi dikampung masi memiliki hubungan dengan dusun sagu di mana dususn sagu merupakan makanan pokok dijaman dulu bagi leluhur suku fiawat hinga saat ini sebelum mereka mengenal makanan yang kerap disebut Padi atau beras, atau padi di kampung waijan. Namun semenjak Tahun 70 sampe 80 masukny transmigrasi dikampung waijan tingal dan berbaur dengan kehidupan masyarakt setempat secara langsung saling memperkenalkan diri,budaya,bahasa,cara hidup dan sistim pertanian.

Dan padah tahun 2000 pada saat itu masyarakat pribumi juga sudah bisa menanam padi dan memiliki sawah sendirih. Dan mungkin pada saat itu masyarakat mulai ikut menanam,memanen mengolahnya menjadi makanan sehinga masyarkat adat Fiyawat mulai terbiasa makan nasi menjadi andalan menuh utama dalam keluarga, dan posisi sagupun digantikan dengan beras.Tapijuga kenyatan dilapangan bahwa mereka memang erat masi memiliki hubungan dengan wilayah dan dusun sagu. Namun mengenai polah makan sudah mulai mengalami perubahan pola makan dimana suda sangat jarang mereka mengolah sagu menjadi makanan sehari-hari mereka.

Itu jelas terlihat dari beberapa Opserfasi dilapangan diman hampir sebagian besar masyarkat didapur mereka tidak terlihat patih sagu, yang hanya terlihat tumpukan karung-karung bersa. Dan juga dimeja makan tidak terlihat saguh yang di olah menjadi makanan utama, sebaliknya adalah nasih. Selamah ber kunjungan dikampung waijan dan mengianap di rumah warga selama kurang lebih beberapa hari disana. Dari pengamatan hidup bersama salasatu keluarga, perubahan polah makan dan selerah makan dari sagu keberas itu sudah terjadi beberapa tahun lalu, kenapa demikian karena hampir disetiap rumah yang di kunjungi mulai pagi, siang dan malam tidak pernah di berikan sagu sebagai makanan pokok untuk dapat dimakan. Namun yang sering di berikan pagi , Kue dan sejenisnya ,makan siang nasi sebagai makanan menu utama dan malam nasipun menjadi menu santapan malam.

Bulan desember 2017 dikampung waijan, dimana suasanah hariraya natal bagi umat Kristen dikampung-kampung dan salah satu kampung yang menjadi tempat kunjungan adalah kampung waijan. Tepat jam 10 pagi berkunjung ke rumah salah satu warga di kampung waijan, berkunjung dan disambut baik oleh bapak keluarga. Dan pada kesempatan itu ditawarkan oleh keluarga, untuk minum Teh dan ditawarkan makan pisang rebus. Tidak tungu lamah langsung meneriam tawaran tersebut, dan suasanah pun menjadi suasana menikmati berkat yang di sediakan keluarga. Sambil menikmat hidangan sarapan pagi, dan saya pun langsung bercerita seputara situasi dapur dipagi hari, Namun pada saat itu “ibu” tidak meresponi ibuh lebih memili di dapur untuk mengurus makan siang keluarga.

Terpaksa kesempatan bertanya di alihkan kepada bapak, tentang situasi perubahan di dapur pagi hari beliaupun menjawap “ semenjak tahun 2000” masyarakat dikampung waijan mulai mengenal padi semenjak itulah mereka cenderung lebih kerap mengonsumsih beras dari padah sagu, ditambah anak-anak sekarang yang suda tidak terbiasa mengonsumsi sagu maunya makan beras ujar bapak dan istrinya pun menambah suara dari dapur iya benar apa yang dikatakan. Tapi juga keterangan dari seorang “ibu” di kampung samate, kami sudah jarang mengonsumsih sagu lebih sering memakan nasi dan sagu biasanya kalo kami senang barulah kami memakanya tapi tidak setiap hari.

Ada juga keterangan dari “Bpk, Nason Parajal”, semenjak tahun 2000 masyarkat loka lebih mengenal beras dikarenakan masing-masing keluarga memiliki ladang padih yang akan di olah dan ditanami padi. Dan pada saat itu masyarakat dikampung ,,Weilabuh,, mulai akrap denga beras tanam.

Selain keterangan dari beberapa orang, dari pengamatan dan hidup bersama dari beberapa tampat ternyata sama. Bahwa turunya konsumsi sagu dikalangan masyarakat papua itu bukan sesuatu hal yang beropini dan asumsi tapi memang hal yang terjadi diakibatkan banyaknya lahan-lahan baru yang akan dan yang sudah dikonversikan menjadi ladang padi dan stok bulok yang memanjakan masyarkat sehinga masyarkat suda sangat jarang mengonsumsi sagu lagi. Ada beberapa tapi cuman sekedar tidak menjadikan sagu sebagai makanan lokal mereka, justru beras atau padi memiliki posisi teratas didapur merekah.

Namun hampir sebagian besar masyarakat pribumi dikampung, waijan dan beberapa kampung sekitar masi memiliki dusun dan masing-masing marga juga memiliki dusun sagu yang begitu sangat lebat dan luas, tapi juga aktifitas mereka masi di lingkungan dusun sagu setiap saat. Tapijuga pengetahuan mereka tentang pengolahan sagu menjadi makanan masi dimiliki warga setempat dan pengetahuan memanfaatkan pohon sagu mulai dari, daun, bua, pelepah sagu, kulit sagu dan hampas pati ela sagu masi terjaga hinga generasi hari ini. Dan hampir disepanjang jalan kampung waijan masi terliat pepohonan sagu yang tumbuh di hamparan jalan dan masi terrawat hinga saat ini.

Tapijuga pengelolaan sagu secara tradisional masi dimiliki pleh warga kampung waijan karene biasanya mereka untuk mengelolah sagu yang, terutama yang di lakukan adalah pemilihan pohon sagu yang mau di tebang maksimal usia sagu yang mau ditebang umur 8-16 tahun dengan ciri- ciri daun bagian pucuk mulai mengecil, duri pada pelepa daun sudah hilang, keluarnya serangkaian bunga pada bagian pucuknya dan adanya buah seperti buah salak hal ini dilakukan masyarakat untuk menjaga keseimbangan alam sehingga alam tidak rusak dan sagu pun tidak punah.

Setelah melakukan pemilihan pohon yang dianggap sudah dewasa ditebang kemudian tahapan-tahapan yang dilakukan yaitu, pembersihan duri-duri sagu dan dikupas bagian luar dan dibelah menjadi dua bagian kemudian pati sagu di hancurkan dengan alat yang disebut lemek atau alat untuk menokok. Pelepah sagu di manfaatkan sebagai tempat ramas atau pelepah sebagai tempat untuk mengalirkan air sagu yang akan diramas biasanya masyarakat menggunakan air rawa dan sungai untuk meramas sagu.

Untuk memisahkan pati sagu agar tidak bercampur baur dengan hasil yang akan diperoleh masyarakat menggunakan kelambu atau kain untuk memeras air sagu sehingga hasil yang akan diperoleh maksimal. Padasat suda mendapatkan hasil tepung sagu, mereka juga suda mempersiapkan temapt atau wadah yang akan digunakan sebagai tempat mengeringkan sagu, yang biasanya disebut, sagu tuman yang artinya tepung sagu yang di bungkus dalam daun sagu anyaman.

Pada proses itu, kurang lebih tinggi sagu tumang mencapai 1cm, tinginya, Dan sagupun siap dipasarkan di kampung tapijuga masyarkat sering menjualnya ke kota sorong. Kisaran harga 1 tumangn sagu dikampung mencapai Rp 20.000 ( duapuluh ribu), tapi juga bagi masyarakat yang memiliki modal lebih akan menjualnya di kota sorong dengan kisaran harga , Rp 45. (empat pukuh lima ribu) per satu tumang. Untuk di kampung waijan.

Mata Pencarian.

Mayoritas matapencarian penduduk adalah petani , sawah dan saguh hal ini disebapkan karena sudah turun temurun sejak duluh masyarakat lokal mengolah sagu dan masyarkat trans menanam padi dan masing-masing menerapkan sitem tradisional persawahan, pengolahan saguh dan sistem pertanian berpindah,dan juga minimnya tingkat pendidikan sehinga menyebapkan masyarkat tidak punya kehalian lain sehinga tidak punya pilihan lain selain bercocok tanam dan memproduksi sagu.

Selai sebagai petani masyarkat kampung waijan juga melakukan aktifitasnya sebagai peternak sebagai pekerjaan tambahan tetapi hasilnya juga belum bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tapijuga jumblah tenaga kerja lebih banyak dari jumblah kk disebapkan karena profesi masyarkat selain PNS, potensi Sda, yang ada dikampung waijan mengharuskan setiap anggota keluarga ikut terlibat dalam mengelolah sumberdaya alamnya.

Keadaan masyarakat waijan.

Sebagian besar masyarakt kampung waijan bermata pencarian sebagai petani / persawahan, Tokok Sagu dan peternak. Potensi unggulan dari kampung waijan adalah Padi dan tokok sagu selain itu pada umunya masyarakat kampung waijan hasilnya dikonsumsi sendiri tapijuga ada yang menjualnya ke kota sorong. Perkembanganya saat meminta keterangan dari Kepala kampung waijan, dikatakan perkembangan pertanian dan pengolahan sagu tidak bisa berkembang dan menjadi inkam pendapatan masyarakat ini dikarenakan kurangnya ketersediaan sarana produksi dan petugas penyulihan dalam hal ini Pemerintahan kabupaten Raja – ampat dan juga akses transportasi laut yang sulit.

Pola kemandirian masyarkat dan pengolahan sagu yang masi bertahan di Kampung Malawor.

Tapi juga pada tempat yang berbeda di masyarakat kampung Malawor Distrik Makbon Kabupaten Sorong sudah lama mengonsumsi sagu dari Hutan alam dan sebagian sagu sudah di tanam oleh nenek moyang secara turun-temurun. Kehidupan sehari- hari masyarakat Malawor sebagai nelayan, berburu dan petani, biasanya hasil yang di peroleh dari tani yaitu berupa sayur mayur dan ubi-ubian. Hasil tersebut di bawa kepasar menggunakan transportasi darat kemudian di jual untuk mendapatkan uang lalu beli beras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketika beras dan ubi – ubian habis masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai pengganti. Sebagian besar masyarakat masih mengelola sagu mengunakan metode tradisional dengan cara menebang sagu mengunakan mencadu kemudian kulit sagu di kupas lalu di tokok mengunakan penokok sagu yang di buat dari kayu lalu ujung kayu di pasang sebuah gelang besi berwarna putih lalu di ayunkan kepermukaan pati sagu lalu pati sagu menjadi butiran-butiran kecil kemudian diangkat ketempat peremasan sagu peremasan sagu menggunakan pelepah sagu.

Satu pohon sagu bisa membutuhkan tenaga 2-3 orang bahkan bisa lebih masing mempunyai tugas yang berbeda ada yang menokok, ada yang mengangkat pati sagu yang sudah ditokok, dan ada yang mempunyai tugas meramas sagu waktu yang di butuhkan untuk menyelasaikan satu pohon sagu sekitar 4-5 hari tergantung kondisi cuaca.

Kalau kondisi cuaca hujan maka membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk menyelesaikan satu pohon sagu, sedangkan perbandingan pengolahan sagu secara moderen menggunakan mesin pemarut sagu tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama dan tidak terlalu membutuhkan tenaga yang banyak, cukup 1-2 orang sudah bisa menyelesaikan satu pohon sagu.Sagu memiliki potensi besar sebagai sumber pangan namun belum dimanfaatkan secara maksimal.Kurangnya minat masyarakat untuk mengelolah sagu karena rendahnya kemampuan untuk menghasilkan sagu yang lebih untuk kebutuhan masyarakat lokal.

Masyarakat kampung malawor merupakan masyarakat yang mempunyai hukum adat sejak turun temurun begitu pula dengan penguasan dan pemanfaatan hutan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang dahulu dan tidak bisa di berikan ke tangan orang lain atau ke marga lain begitu pula dengan pemanfaatn pohon sagu, masyarakat mengelola sagu secara turun temurun untuk di gunakan sebagai bahan pangan dan di jual masyarakat memanfaatkan sebagian usaha ladang, berburu, menokok sagu, dan memungut hasil hutan kayu untuk memenuhi kebutuhan social ekonomi masyarakat setempat.

Ada 2 jenis teknologi yang digunakan oleh masyarakat Kampung Malawor yakni: 1. teknologi tradisional (lemek); 2. teknologi alat parut sagu mekanis; Dari kedua jenis teknologi yang ada, teknologi mesin parut yang umumnya digunakan masyarakat kampung saat ini walaupun demikian teknologi lemek masih digunakan pada skala besar.

Berikut ini digambarkan kedua jenis teknologi dan peralatan penunjang proses pengolahan sagu tersebut: Lemek bambu bahannya terbuat dari bambu dan tali dari bahan rotan. Lemek kayu bahannya terdiri dari kayu, besi sebagai pisau dan tali dari bahan rotan. Kedua alat ini sama bentuk dan fungsinya namun tegakannya berbeda. Pada Lemek kayu posisi pisau pemotongnya lebih tegak dibandingkan Lemek bambu serta ujung pisaunya dilapisi besi yang diasah tajam. Sedangkan lemek bambu posisi pisau pemotong agak melengkung/bungkuk dan tidak dilapisi besi tajam.

Kedua alat ini sama bentuk dan fungsinya namun tegakannya berbeda. Pada Lemek kayu posisi pisau pemotongnya lebih tegak dibandingkan Lemek bambu serta ujung pisaunya dilapisi besi yang diasah tajam. Sedangkan lemek bambu posisi pisau pemotong agak melengkung/bungkuk dan tidak dilapisi besi tajam. Alat tebang/pembelah pohon sagu : merupakan alat tebang dan belah batang sagu berupa parang, kapak, dan kayu bebentuk dodos. Dengan alat pemotong yang sederhana ini maka pohon sagu ditebang dan dibelah sesuai ukuran kemudian isi sagu itu ditokok untuk diproses selanjutnya. Alat peramas/penyaring:bahannya terdiri dari selaput tipis dari pohon kelapa seperti kain kelambu berbentuk segi tiga,pelepah sagu bagian pangkal dan tali dari bahan rotan.

Alat penimba air (ember) wadah ini bahannya terbuat dari a) pelepah sagu berbentuk runcing, b) tali rotan digunakan untuk jahit bagian tepi pelepah sagu, c) tali timba dari rotan. Wadah penampung patih sagu (goti): merupakan wadah penampung patih dari hasil perasan. Wadah ini biasanya terbuat dari pelepah sagu (goti). Dengan ukuran panjang dan lebarnya bervariasi. Khusus untuk wadah pelepah sagu (goti halua), ukurannya kecil cocok digunakan oleh pengeloh yang bekerja sendiri tanpa tenaga bantuan. Cara pembuatan wadah penampung adalah sebagai berikut :

1.kayu penyanggah posisi wadah agar tetap tegak, dipasang mengapit badan wadah pada kedua sisi dengan jarak sekitar 1 m, kemudian diikat tegang pada dua buah kayu penyanggah pada sisi kiri dan kanan wadah dengan tali dari kulit dahan sagu.

2.bantalan penyanggah dari dahan sagu yang dipotong pendek dan diletakan dibawah wadah penampung.

3.dua buah pelepah sagu yang agak lebar dipaku pada ujung wadah berfungsi untuk menutup kedua ujung wadah penampung.

4. ampas sagu (ela) atau batang. Pisang yang telah busuk, berfungsi untuk menutup cela yang terbuka, agar patih sagu hasil perasan tidak keluar dari kedua ujung wadah.

Wadah kemasan pati sagu/sagu mentah (tumang sagu): merupakan wadah tempat kemas patih sagu yang telah diperas. Terbuat dari daun sagu segar dan matang. Sebuah wadah kemasan dibentuk dari 12-16 lembar daun sagu, dianyam bulat panjang berbentuk tabung setinggi 30-40 cm, dengan diameter 18-20 cm. Bagian bawah wadah di lapisi dengan sedikit ampas sagu yang telah diperas (ela). Berfungsi untuk menutup celah/lubang wadah kemasan sekligus menjaga kelembaban patih sagu.

Produktivitas yang dicapai dalam seminggu bisa mencapai 1-2 pohon sagu yang diolah. Keseluruhan proses pengerjaan dari penebangan, hingga pengemasan patih sagu ke wadah, membutuhkan waktu 14-21 hari dengan 4 orang tenaga kerja. Modifikasi dan pengembangan dari alat semi mekanis yang menggunakan tenaga mesin. Dari sisi efisiensi dan efektivitasnya mesin terbukti lebih unggul dibanding alat tradisional (Lemek). Produktivitas yang dicapai dalam seminggu bisa mencapai 2-3 pohon sagu yang diolah.

Keseluruhan proses pengerjaan dari penebangan, hingga pengemasan patih sagu ke wadah, membutuhkan waktu 10-12 hari dengan 3 orang tenaga kerja. Penggunaan alat pendukung pengolahan memiliki sedikit perbedaan yakni pada alat tebang pohon sagu, disamping menggunakan kapak, mesin pemarut patih, wadah penampung tepung sagu (goti) terbuat dari terpal dan penapisnya dari kain kelambu sedangkan wadah penimba air dari ember. Selebihnya dari peralatan yang digunakan adalah sama.

Sumberdaya sagu merupakan aset terbesar bagi masyarakatn sekitar hutan sagu, begitu pula Masyaraakat di Kampung yang masi memiliki dusun sagu. Jelas ketika sagu sudah dimanfaatkan oleh masyarkat lokal setempat dengan baik, maka secara tidak langsung sudah menjadi matapencarian yang memiliki nilai ekonomis tingi bagi masyarakat di kampung malawaor dan di beberapa wilayah di kabupaten sorong dan beberapa kabupaten sekitar. Contoh kampung malawor ini menjadi salasatu contoh yang mungkin bisa di contohi oleh kampung-kampung lain yang masi memiliki dusun sagu.

Dusun Sagu Diganti Paksa dengan Ladang Padi di Kampung Waijan Papua Barat

Saat ini lahan yang pernah dibuka Dinas Pertanian Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat tahun 2016 menjadi lahan tidur yang terbengkalai di Kampung Waijan, Papua Barat.

Pembukaan lahan tersebut ditujukan untuk mengganti dusun sagu untuk lahan pertanian padi. Rencana ini jelas akan mengubah tradisi makanan pokok orang Papua dari sagu dan umbi-umbian menjadi nasi.

Dalam proses pembukaan lahan baru tersebut, Dinas Pertanian melibatkan satuan militer Komandan Rayon Militer (Danramil) diatas dusun sagu milik Marga Napasau. Salah satu pemilik hak ulayat, Yanes Napasau menyatakan bahwa pembukaan lahan tersebut tidak meminta ijin kepada pemegang wilayah ulayat adat.

“Dinas terkait yang datang membongkar dusun kami tidak minta ijin sama kami. Mereka langsung masuk dengan alat berat mengusur dusun sagu kami. Masalah ini sudah kami laporkan kepada pihak yang berwenang, tetapi sampai saat ini belum ada kepastian penyelesaian yang jelas,” jelas Yanes.

Lebih lanjut Yanes menjelaskan kalau mereka adalah masyarakat awam yang ingin bertindak tetapi tidak memiliki uang. Untuk itu ia menghimbau pihak DPRD Kabupaten Raja Ampat agar dapat membantu Masyarakat Adat menyelesaikan persoalan tersebut.

Sedangkan Mika Napasau, salah satu pemuda adat menyerukan agar pihak-pihak yang telah merusak wilayah adat agar bertanggung jawab.
“Kami hidup berbaur dengan alam, alam merupakan ekosistem yang tidak pernah putus memberikan kehidupan bagi kami. Untuk itu, kami menghimbau kepada pihak pelaku agar dapat bertanggung jawab atas perbuatanya bagi kami Masyarakat Adat di Kampung Waijan,” ujar Mika.

Lebih lanjut Mika menegaskan, “Tolong jangan musnahkan makanan lokal kami dan jangan merusak hutan, dusun sagu karena itu tempat pertahanan terakhir bagi kami Masyarakat Adat yang tinggal di pinggiran belantara daun sagu,” tegas Mika.

Suku Moi Pulau di kampung Waijan , sangat dekat dengan hutan dan dusun sagu. Mereka selalu mengantungkan hidup dari hutan dan dusun sagu, sehingga mereka memiliki ikatan batin yang kuat dengan alam.

Seperti marga Napasau, salah satu marga asli di Pulau Salawati yaitu Suku Moi Fiawat yang tinggal di Kampung Waijan secara turun temurun telah mendiami wilayah adat di Kampung Waijan.

Feki Mobalen

(Bph Aman Sorong Raya)

Kami Bisa Hidup Tanpa Sawit, Tapi Kami Tak Bisa Hidup Tanpa Dusun Sagu

 

“Hutan dirusak, sagu dihancurkan demi penanaman seribu hektar kelapa sawit. Hati teriris, sedih, dan marah ketika melihat hal itu telah, sedang, dan akan terjadi di atas negeri leluhur kami.” Barangkali itulah yang dirasakan kebanyakan orang Papua, terutama Suku Moi di wilayah kepala burung (Sorong), yang sangat dekat dengan dusun sagu mereka.

Mengapa dikatakan demikian? Dasarnya adalah filosofi mereka; “Hutan dan dusun sagu adalah ibu bagi mereka”.Dusun sagu memberikan semua yang suku Moi butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Satu pohon sagu, ketika diolah dapat memberi tepung sagu yang akan mencukupi kehidupan sehari-hari bagi suku Moi. Dan banyak manfaat lain yang didapat dari dusun sagu.

Pohon sagu juga dapat menghasilkan makanan berupa; ulat sagu yang kaya akan protein dan ujung sagunya dapat dimakan, sangat bergizi dan alami. Apabila sudah membusuk, akan ditumbuhi jamur sagu yang kaya akan vitamin dan protein, juga bebas dari zat kimia.

Selain itu, ketika sudah membusuk dan kering akan menjadi pupuk kompos dan memiliki buah yang bisa dikonsumsi. Daun sagu juga sangat berguna. Ketika dijahit, daun sagu digunakan sebagai atap rumah dan bisa dijual sebagai salah satu penopang ekonomi masyarakat suku Moi. Ujung daun sagu juga dijadikan busana berupa rok, atau yang dikenal engan kain rumput. Juga kulit dari pelepah atau dahan sagu dikupas, dibersihkan atau dihaluskan, dijemur dan dijadikan bahan anyaman yang kerap dikenal olah masyarkat pada umumnya anyaman senat, kulit pelepah sagu yang dianyam.

Ini berfungsi sebagai penggati tikar tidur dan lain lain. Pelepah sagu digunakan sebagai tempat pengolahan sagu dan apabila kering, dijadikan sebagai alat untuk palu air atau menguras air. Juga, kulit sagu atau gagar sagu sangat berguna sekali. Gagar sagu dapat digunakan sebagai alas lantai rumah dan dapat dijadikan sebagai karya seni lain tergantung dari minat dan kreatifitas si perajin.

Pohon sagu sangat multifungsi bagi suku Moi. Suku Moi akan melindungi hutan dusun sagu dan budaya agar tetap ada dan menghijau dalam proses hidup.

Masyarakat Adat Tanam Sagu.

Tanah Tetap Basah. Ketika masyarakat adat suku Moi menanam sagu, tanah tetap basah dan terhindar dari kebakaran, karna masyarakat melakukan (kegiatan) proses penanaman sagu tidak menggunakan sistem monokultur. Penanaman ini menggunakan metode-metode sederhana yang sangat ramah lingkungan juga membiarkan tumbuhan atau tanaman lain tumbuh dengan bebas.

Berikut metode-metode tesebut tidak menebang semua tumbuhan yang berada di lahan yang akan ditanami sagu, tidak meratakan lahan yang akan ditanami sagu, tidak menutup dan menghambat saluran air yang mengalir di lahan yang akan ditanami sagu, membiarkan tanaman lain tumbuh dengan bebas bersama dengan tanaman sagu yang ditanam, tidak merusak ekosistem yang ada di lahan tempat masyarakat menanam sagu, tidak menggunakan zat kimia, dan bebas dari pencemaran lingkungan.

Perusahaan Tanam Sagu Beroperasi.

Tanah Kering dan Mudah Terbakar. Dampak yang nyata penanaman oleh perusahaan adalah tanah menjadi kering, ekosistem terganggu, dan mudah mengalami kebakaran. Sistem yang digunakan perusahaan dalam membuka lahan dengan sistem monokultur. Hal-hal demikian diuraikan pada kalimat berikut.

Penerapan sistem ini, yakni hutan ditebang hingga gundul, tanah diratakan, tanah kering dan sangat berpengaruh kepada keseimbangan ekosistem, pelepasan karbon yang sangat banyak dari hutan dan tanah tanpa memperhatikan dampaknya, lebih cenderung (mudah) terjadi kebakaran hutan dan dusun sagu, menggunakan zat kimia sebagai perangsang pertumbuhan, lingkungan tercemari dan cenderung berdampak pada keseimbangan ekosistem dan manusia yang mendiami wilayah suku Moi, ujungnya menghabiskan hutan, flora dan fauna, serta mengurangi sumber-sumber mata air.

Negara, harus memahami filosofi dasar suku Moi: “Dusun dan hutan merupakan mama bagi kehidupan mereka”.

Suara hati mengungkap; “Hai kaum penguasa, sadarlah terhadap manusia lain. Hargai dan hormatilah tatanan hidup suku Moi yang bergantung kepada dusun dan hutan mereka. Hanya satu kata yang terucap, jaga dan lawan mereka yang ingin merusak dusun dan hutan masyarakat adat suku Moi. Semoga!

Catatan refleksi

1. Banyak dusun sagu yang dihancurkan digantikan dengan dusun SAWIT dan DUSUSN SAWAH.
2. Telah terjadi perubahan pola makan di dapur Mama-mama Papua dari sagu ke beras atau yang dikenal dengan beras raskin.
3. Generasi muda hari ini hanya sebagian kecil yang tertarik untuk menjaga dan merawat dusun sagu.

Feki Mobalen
Ketua BPH AMAN Sorong Raya.

MASYARAKAT ADAT MERUPAKAN ENTITAS PEMBENTUK BANGSA.

 

 

 

 

Masyarakat adat dan iRndividu mempunyai kebebasan dan kesetaraan dengan masyarakat dan individu lainnya dan memiliki hak untuk terbebas dari segala macam jenis diskriminasi, hak melakukan identifikasi diri, serta memiliki kebebasan atas hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. Masyarakat adat juga mempunyai hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, kuasai, atau gunakan dan hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki. Mereka juga berhak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang dapat berdampak pada hak mereka.

Sikap pemerintah Indonesia atas keberadaan masyarakat adat, yang merupakan bagian terbesar dari konstituen yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), masih gamang. Padahal, masyarakat adat eksis dengan mendiami tanah ulayat (adat) yang tersebar di pegunungan, hutan rimba, dan kepulauan di Nusantara, yang umumnya kaya akan sumber daya mineral dan alam.

HUKUM YANG DILANGGAR RESIM PRESIDEN JOKOWI TERHADAP HAK KONSTITUSI MASYARKAT ADAT !!

Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah pusat, kementerian, gubernur serta bupati untuk mempercepat proses proses investasi (kapitalisme) asing dan nasional di Indonesia. Bahkan dengan menutup mata. Adalah pelanggaran konstitusional dan pelanggaran HAM masyarakat Adat di Indonesia, secara khusus Masyarkat Adat Papua.

SECARA INTERNASIONAL, PELANGGARAN ATAS

1. Deklarasi universal HAM 1948
2. Konvensi ILO No 169 tahun 1989
3. Pengesahan Deklarasi Masyarakat Adat September 2007

SECARA NASIONAL, PELANGGARAN ATAS

1.UUD 1945 pasal 18 B ayat 2
2. UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 6 ayat 1 dan 2
3. UU No 32 Tahun 2004 Bab 1 pasal 1 angka 12
4. Keputusan MK No 35/PUU-X/2012 (intinya status hutan negara dan adat)
5. Peraturan Mendagri No 52. Tahun 2007, Bab II pasal 2
6. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 2015, tentang penetapan komunal atas tanah masyarakat adat.

TINGKAT PROVINSI, PELANGGARAN ATAS

1. UU OTSUS 2001
2. Perdasus Prov. papua no 20 thn 2008, peradilan adat
3. Perdasus Prov. Papua no 21 tahun 2008, hutan berkelanjutan di provinsi Papua
4. Perdasus Papua no 22 tahun 2008 tentang perlindungan SDA Masyarakat adat Papua
5. Perdasus papua no 23 tahun 2008 tentang hak Ulayat masyarakat hukum adat dan perorangan.
6. Perdasi No 14 tahun 2013 tentang RPMJ provinsi Papua – pendekatan pembangunan berbasis wilayah dan budaya

Saat ini, masyarakat adat Papua dan wilayah adatnya sedang mengalami tekanan proyek pembangunan negara, dan gempuran ekspansi bisnis ekstraksi dan eksploitasi hasil hutan, tambang dan lahan, yang berlangsung dalam skala luas.

Secara struktural, negara menggunakan kuasanya memproduksi kebijakan peraturan, perizinan dan syarat-syarat untuk memperlancar aktifitas pembangunan ekonomi dan bisnis, pemberian hak atas tanah dan pengamanan kegiatan berinvestasi, yang dikendalikan dan dijalankan oleh pengusaha pemilik modal, yang meraup manfaat keuntungan ganda dalam lingkaran bisnis tersebut.

Masyarakat adat penguasa dan pemilik tanah dan hutan adat mengalami ketergusuran berlapis-lapis, tersingkir hak dan aksesnya atas sumber mata pencaharian dan sumber pangan, mengalami kekerasan, intimidasi, penyiksaan hingga pembunuhan, dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), melibatkan aparatus keamanan negara dan pelaku non pemerintah, seperti security perusahaan, mafia, preman dan sebeagainya. Mereka terpaksa menjadi buruh dan dipaksa patuh pada aturan-aturan perusahaan, yang tidak adil, diskriminatif dan rasis.

Dalam hal ini, hak konstitusional masyarakat adat Papua yang mendasar untuk menjamin harkat dan martabat hidup, serta keberlangsungan lingkungannya, belum mendapatkan perlindungan dan penghormatan negara. Sebaliknya perampasan dan pengabaian atas hak-hak tersebut menimbulkan ketegangan, kerugian dan konflik, yang masih terjadi hingga saat ini. Demikian pula, kebijakan dan model pembangunan skala luas tersebut terbukti menjadi salah satu sumber penyebab pandemic Covid19 yang berdampak buruk terhadap ratusan juta penduduk di dunia dan mengancam keselamatan manusia.

Kami secara khusus hendak menyoroti dan menekankan praktik dan dampak program pembangunan dan ekspansi bisnis tersebut terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat Moi di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), pembangunan infrastruktur, proyek percetakan sawah baru, usaha pertambangan, pembalakan kayu dan perkebunan kelapa sawit, dan sebagainya, yang masih belum sepenuhnya memberikan keadilan, belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat, terjadi kesenjangan pendapatan antara masyarakat dan dengan perusahaan semakin lebar, masih sulit dan terbatasnya akses masyarakat mendapatkan fasilitas sosial, kesehatan, pendidikan dan sebagainya, hal ini tidak sebanding dengan nilai dan sumberdaya yang hilang.

SESUNGGUHNYA MASYARAKAT ADAT ADALAH SUATU BADAN HUKUM (LEGAL ENTITY) YANG MEMPEROLEH LEGALITAS DAN LEGIMASI DARI SEJARAH DAN PERATURAN PERUNDANGAN NEGARA. JIKA NEGARA MENOLAK DAN MENGAKUI MASYARAKAT ADAT, MAKA SOLUSI UNTUK ITU ADALAH MELAWAN KEJAHATAN NEGARA.

#Sahkan RUU Masyarkat Adat
#Himas 2020
#Rakernas AMAN
#Masyarkat Adat Papua
#Indigenous Peoples
#Kedaulatan Pangan
#Berdaulat Mandiri dan Bermartabat

 

Feki Mobalen

(Ketua Bph-Aman Sorong Raya)