Perubahan Polah Makan Di Dapur Mama- mama Papua di Kampung waijan dan Polah Pengolahan Sagu di kampung Malawor

Kampung waijan

Asal mulah nama kampung waijan adalah dari nama sebuah kali yang berada di lokasi tersebut. Sejak tahun 1984 penduduk kampung waijan mulai dipenuhi oleh penduduk transmigrasi. Dengan jumblah penduduk pada waktu itu 200 kk, yang terdiri dari penduduk lokal 50 kk, dan penduduk transmigrasi 150 kk, dengan mata pencarian penduduk waijan adalah mayoritas sebagai petani sagu dan petani sawah.

Kampung waijan merupakan salah satu kampung di Distrik Salawati tengah Kabupaten Raja – Ampat, Provinsi Papua Barat, dan luas kampung waijan 2450 Ha. Status kampung waijan adalah sebagai kampung pemekaran dari kampung kalobo yang masyarkatnya adalah sebagian besar adalah masyarkat waijan yang dimekarkan dan dulu masyarakat waijan terdiri dari masyarakat adat dan masyarkat transmigrasi pada tahun 1984, dan pada saat itu kampung waijan dulunya masi bergabung dengan kampung kalobo dan kampung waijan sendiri masi masuk kabupaten Sorong, setelah masuk kabupaten Raja-Ampat pada tahun 1987 barulah dibentuk suatu pemerintahan kampung waijan.

Hubungan Pribumi dengan Dusun Sagu

Di kampung waijan, kehidupan masyarakt pribumi dikampung masi memiliki hubungan dengan dusun sagu di mana dususn sagu merupakan makanan pokok dijaman dulu bagi leluhur suku fiawat hinga saat ini sebelum mereka mengenal makanan yang kerap disebut Padi atau beras, atau padi di kampung waijan. Namun semenjak Tahun 70 sampe 80 masukny transmigrasi dikampung waijan tingal dan berbaur dengan kehidupan masyarakt setempat secara langsung saling memperkenalkan diri,budaya,bahasa,cara hidup dan sistim pertanian.

Dan padah tahun 2000 pada saat itu masyarakat pribumi juga sudah bisa menanam padi dan memiliki sawah sendirih. Dan mungkin pada saat itu masyarakat mulai ikut menanam,memanen mengolahnya menjadi makanan sehinga masyarkat adat Fiyawat mulai terbiasa makan nasi menjadi andalan menuh utama dalam keluarga, dan posisi sagupun digantikan dengan beras.Tapijuga kenyatan dilapangan bahwa mereka memang erat masi memiliki hubungan dengan wilayah dan dusun sagu. Namun mengenai polah makan sudah mulai mengalami perubahan pola makan dimana suda sangat jarang mereka mengolah sagu menjadi makanan sehari-hari mereka.

Itu jelas terlihat dari beberapa Opserfasi dilapangan diman hampir sebagian besar masyarkat didapur mereka tidak terlihat patih sagu, yang hanya terlihat tumpukan karung-karung bersa. Dan juga dimeja makan tidak terlihat saguh yang di olah menjadi makanan utama, sebaliknya adalah nasih. Selamah ber kunjungan dikampung waijan dan mengianap di rumah warga selama kurang lebih beberapa hari disana. Dari pengamatan hidup bersama salasatu keluarga, perubahan polah makan dan selerah makan dari sagu keberas itu sudah terjadi beberapa tahun lalu, kenapa demikian karena hampir disetiap rumah yang di kunjungi mulai pagi, siang dan malam tidak pernah di berikan sagu sebagai makanan pokok untuk dapat dimakan. Namun yang sering di berikan pagi , Kue dan sejenisnya ,makan siang nasi sebagai makanan menu utama dan malam nasipun menjadi menu santapan malam.

Bulan desember 2017 dikampung waijan, dimana suasanah hariraya natal bagi umat Kristen dikampung-kampung dan salah satu kampung yang menjadi tempat kunjungan adalah kampung waijan. Tepat jam 10 pagi berkunjung ke rumah salah satu warga di kampung waijan, berkunjung dan disambut baik oleh bapak keluarga. Dan pada kesempatan itu ditawarkan oleh keluarga, untuk minum Teh dan ditawarkan makan pisang rebus. Tidak tungu lamah langsung meneriam tawaran tersebut, dan suasanah pun menjadi suasana menikmati berkat yang di sediakan keluarga. Sambil menikmat hidangan sarapan pagi, dan saya pun langsung bercerita seputara situasi dapur dipagi hari, Namun pada saat itu “ibu” tidak meresponi ibuh lebih memili di dapur untuk mengurus makan siang keluarga.

Terpaksa kesempatan bertanya di alihkan kepada bapak, tentang situasi perubahan di dapur pagi hari beliaupun menjawap “ semenjak tahun 2000” masyarakat dikampung waijan mulai mengenal padi semenjak itulah mereka cenderung lebih kerap mengonsumsih beras dari padah sagu, ditambah anak-anak sekarang yang suda tidak terbiasa mengonsumsi sagu maunya makan beras ujar bapak dan istrinya pun menambah suara dari dapur iya benar apa yang dikatakan. Tapi juga keterangan dari seorang “ibu” di kampung samate, kami sudah jarang mengonsumsih sagu lebih sering memakan nasi dan sagu biasanya kalo kami senang barulah kami memakanya tapi tidak setiap hari.

Ada juga keterangan dari “Bpk, Nason Parajal”, semenjak tahun 2000 masyarkat loka lebih mengenal beras dikarenakan masing-masing keluarga memiliki ladang padih yang akan di olah dan ditanami padi. Dan pada saat itu masyarakat dikampung ,,Weilabuh,, mulai akrap denga beras tanam.

Selain keterangan dari beberapa orang, dari pengamatan dan hidup bersama dari beberapa tampat ternyata sama. Bahwa turunya konsumsi sagu dikalangan masyarakat papua itu bukan sesuatu hal yang beropini dan asumsi tapi memang hal yang terjadi diakibatkan banyaknya lahan-lahan baru yang akan dan yang sudah dikonversikan menjadi ladang padi dan stok bulok yang memanjakan masyarkat sehinga masyarkat suda sangat jarang mengonsumsi sagu lagi. Ada beberapa tapi cuman sekedar tidak menjadikan sagu sebagai makanan lokal mereka, justru beras atau padi memiliki posisi teratas didapur merekah.

Namun hampir sebagian besar masyarakat pribumi dikampung, waijan dan beberapa kampung sekitar masi memiliki dusun dan masing-masing marga juga memiliki dusun sagu yang begitu sangat lebat dan luas, tapi juga aktifitas mereka masi di lingkungan dusun sagu setiap saat. Tapijuga pengetahuan mereka tentang pengolahan sagu menjadi makanan masi dimiliki warga setempat dan pengetahuan memanfaatkan pohon sagu mulai dari, daun, bua, pelepah sagu, kulit sagu dan hampas pati ela sagu masi terjaga hinga generasi hari ini. Dan hampir disepanjang jalan kampung waijan masi terliat pepohonan sagu yang tumbuh di hamparan jalan dan masi terrawat hinga saat ini.

Tapijuga pengelolaan sagu secara tradisional masi dimiliki pleh warga kampung waijan karene biasanya mereka untuk mengelolah sagu yang, terutama yang di lakukan adalah pemilihan pohon sagu yang mau di tebang maksimal usia sagu yang mau ditebang umur 8-16 tahun dengan ciri- ciri daun bagian pucuk mulai mengecil, duri pada pelepa daun sudah hilang, keluarnya serangkaian bunga pada bagian pucuknya dan adanya buah seperti buah salak hal ini dilakukan masyarakat untuk menjaga keseimbangan alam sehingga alam tidak rusak dan sagu pun tidak punah.

Setelah melakukan pemilihan pohon yang dianggap sudah dewasa ditebang kemudian tahapan-tahapan yang dilakukan yaitu, pembersihan duri-duri sagu dan dikupas bagian luar dan dibelah menjadi dua bagian kemudian pati sagu di hancurkan dengan alat yang disebut lemek atau alat untuk menokok. Pelepah sagu di manfaatkan sebagai tempat ramas atau pelepah sebagai tempat untuk mengalirkan air sagu yang akan diramas biasanya masyarakat menggunakan air rawa dan sungai untuk meramas sagu.

Untuk memisahkan pati sagu agar tidak bercampur baur dengan hasil yang akan diperoleh masyarakat menggunakan kelambu atau kain untuk memeras air sagu sehingga hasil yang akan diperoleh maksimal. Padasat suda mendapatkan hasil tepung sagu, mereka juga suda mempersiapkan temapt atau wadah yang akan digunakan sebagai tempat mengeringkan sagu, yang biasanya disebut, sagu tuman yang artinya tepung sagu yang di bungkus dalam daun sagu anyaman.

Pada proses itu, kurang lebih tinggi sagu tumang mencapai 1cm, tinginya, Dan sagupun siap dipasarkan di kampung tapijuga masyarkat sering menjualnya ke kota sorong. Kisaran harga 1 tumangn sagu dikampung mencapai Rp 20.000 ( duapuluh ribu), tapi juga bagi masyarakat yang memiliki modal lebih akan menjualnya di kota sorong dengan kisaran harga , Rp 45. (empat pukuh lima ribu) per satu tumang. Untuk di kampung waijan.

Mata Pencarian.

Mayoritas matapencarian penduduk adalah petani , sawah dan saguh hal ini disebapkan karena sudah turun temurun sejak duluh masyarakat lokal mengolah sagu dan masyarkat trans menanam padi dan masing-masing menerapkan sitem tradisional persawahan, pengolahan saguh dan sistem pertanian berpindah,dan juga minimnya tingkat pendidikan sehinga menyebapkan masyarkat tidak punya kehalian lain sehinga tidak punya pilihan lain selain bercocok tanam dan memproduksi sagu.

Selai sebagai petani masyarkat kampung waijan juga melakukan aktifitasnya sebagai peternak sebagai pekerjaan tambahan tetapi hasilnya juga belum bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tapijuga jumblah tenaga kerja lebih banyak dari jumblah kk disebapkan karena profesi masyarkat selain PNS, potensi Sda, yang ada dikampung waijan mengharuskan setiap anggota keluarga ikut terlibat dalam mengelolah sumberdaya alamnya.

Keadaan masyarakat waijan.

Sebagian besar masyarakt kampung waijan bermata pencarian sebagai petani / persawahan, Tokok Sagu dan peternak. Potensi unggulan dari kampung waijan adalah Padi dan tokok sagu selain itu pada umunya masyarakat kampung waijan hasilnya dikonsumsi sendiri tapijuga ada yang menjualnya ke kota sorong. Perkembanganya saat meminta keterangan dari Kepala kampung waijan, dikatakan perkembangan pertanian dan pengolahan sagu tidak bisa berkembang dan menjadi inkam pendapatan masyarakat ini dikarenakan kurangnya ketersediaan sarana produksi dan petugas penyulihan dalam hal ini Pemerintahan kabupaten Raja – ampat dan juga akses transportasi laut yang sulit.

Pola kemandirian masyarkat dan pengolahan sagu yang masi bertahan di Kampung Malawor.

Tapi juga pada tempat yang berbeda di masyarakat kampung Malawor Distrik Makbon Kabupaten Sorong sudah lama mengonsumsi sagu dari Hutan alam dan sebagian sagu sudah di tanam oleh nenek moyang secara turun-temurun. Kehidupan sehari- hari masyarakat Malawor sebagai nelayan, berburu dan petani, biasanya hasil yang di peroleh dari tani yaitu berupa sayur mayur dan ubi-ubian. Hasil tersebut di bawa kepasar menggunakan transportasi darat kemudian di jual untuk mendapatkan uang lalu beli beras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketika beras dan ubi – ubian habis masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai pengganti. Sebagian besar masyarakat masih mengelola sagu mengunakan metode tradisional dengan cara menebang sagu mengunakan mencadu kemudian kulit sagu di kupas lalu di tokok mengunakan penokok sagu yang di buat dari kayu lalu ujung kayu di pasang sebuah gelang besi berwarna putih lalu di ayunkan kepermukaan pati sagu lalu pati sagu menjadi butiran-butiran kecil kemudian diangkat ketempat peremasan sagu peremasan sagu menggunakan pelepah sagu.

Satu pohon sagu bisa membutuhkan tenaga 2-3 orang bahkan bisa lebih masing mempunyai tugas yang berbeda ada yang menokok, ada yang mengangkat pati sagu yang sudah ditokok, dan ada yang mempunyai tugas meramas sagu waktu yang di butuhkan untuk menyelasaikan satu pohon sagu sekitar 4-5 hari tergantung kondisi cuaca.

Kalau kondisi cuaca hujan maka membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk menyelesaikan satu pohon sagu, sedangkan perbandingan pengolahan sagu secara moderen menggunakan mesin pemarut sagu tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama dan tidak terlalu membutuhkan tenaga yang banyak, cukup 1-2 orang sudah bisa menyelesaikan satu pohon sagu.Sagu memiliki potensi besar sebagai sumber pangan namun belum dimanfaatkan secara maksimal.Kurangnya minat masyarakat untuk mengelolah sagu karena rendahnya kemampuan untuk menghasilkan sagu yang lebih untuk kebutuhan masyarakat lokal.

Masyarakat kampung malawor merupakan masyarakat yang mempunyai hukum adat sejak turun temurun begitu pula dengan penguasan dan pemanfaatan hutan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang dahulu dan tidak bisa di berikan ke tangan orang lain atau ke marga lain begitu pula dengan pemanfaatn pohon sagu, masyarakat mengelola sagu secara turun temurun untuk di gunakan sebagai bahan pangan dan di jual masyarakat memanfaatkan sebagian usaha ladang, berburu, menokok sagu, dan memungut hasil hutan kayu untuk memenuhi kebutuhan social ekonomi masyarakat setempat.

Ada 2 jenis teknologi yang digunakan oleh masyarakat Kampung Malawor yakni: 1. teknologi tradisional (lemek); 2. teknologi alat parut sagu mekanis; Dari kedua jenis teknologi yang ada, teknologi mesin parut yang umumnya digunakan masyarakat kampung saat ini walaupun demikian teknologi lemek masih digunakan pada skala besar.

Berikut ini digambarkan kedua jenis teknologi dan peralatan penunjang proses pengolahan sagu tersebut: Lemek bambu bahannya terbuat dari bambu dan tali dari bahan rotan. Lemek kayu bahannya terdiri dari kayu, besi sebagai pisau dan tali dari bahan rotan. Kedua alat ini sama bentuk dan fungsinya namun tegakannya berbeda. Pada Lemek kayu posisi pisau pemotongnya lebih tegak dibandingkan Lemek bambu serta ujung pisaunya dilapisi besi yang diasah tajam. Sedangkan lemek bambu posisi pisau pemotong agak melengkung/bungkuk dan tidak dilapisi besi tajam.

Kedua alat ini sama bentuk dan fungsinya namun tegakannya berbeda. Pada Lemek kayu posisi pisau pemotongnya lebih tegak dibandingkan Lemek bambu serta ujung pisaunya dilapisi besi yang diasah tajam. Sedangkan lemek bambu posisi pisau pemotong agak melengkung/bungkuk dan tidak dilapisi besi tajam. Alat tebang/pembelah pohon sagu : merupakan alat tebang dan belah batang sagu berupa parang, kapak, dan kayu bebentuk dodos. Dengan alat pemotong yang sederhana ini maka pohon sagu ditebang dan dibelah sesuai ukuran kemudian isi sagu itu ditokok untuk diproses selanjutnya. Alat peramas/penyaring:bahannya terdiri dari selaput tipis dari pohon kelapa seperti kain kelambu berbentuk segi tiga,pelepah sagu bagian pangkal dan tali dari bahan rotan.

Alat penimba air (ember) wadah ini bahannya terbuat dari a) pelepah sagu berbentuk runcing, b) tali rotan digunakan untuk jahit bagian tepi pelepah sagu, c) tali timba dari rotan. Wadah penampung patih sagu (goti): merupakan wadah penampung patih dari hasil perasan. Wadah ini biasanya terbuat dari pelepah sagu (goti). Dengan ukuran panjang dan lebarnya bervariasi. Khusus untuk wadah pelepah sagu (goti halua), ukurannya kecil cocok digunakan oleh pengeloh yang bekerja sendiri tanpa tenaga bantuan. Cara pembuatan wadah penampung adalah sebagai berikut :

1.kayu penyanggah posisi wadah agar tetap tegak, dipasang mengapit badan wadah pada kedua sisi dengan jarak sekitar 1 m, kemudian diikat tegang pada dua buah kayu penyanggah pada sisi kiri dan kanan wadah dengan tali dari kulit dahan sagu.

2.bantalan penyanggah dari dahan sagu yang dipotong pendek dan diletakan dibawah wadah penampung.

3.dua buah pelepah sagu yang agak lebar dipaku pada ujung wadah berfungsi untuk menutup kedua ujung wadah penampung.

4. ampas sagu (ela) atau batang. Pisang yang telah busuk, berfungsi untuk menutup cela yang terbuka, agar patih sagu hasil perasan tidak keluar dari kedua ujung wadah.

Wadah kemasan pati sagu/sagu mentah (tumang sagu): merupakan wadah tempat kemas patih sagu yang telah diperas. Terbuat dari daun sagu segar dan matang. Sebuah wadah kemasan dibentuk dari 12-16 lembar daun sagu, dianyam bulat panjang berbentuk tabung setinggi 30-40 cm, dengan diameter 18-20 cm. Bagian bawah wadah di lapisi dengan sedikit ampas sagu yang telah diperas (ela). Berfungsi untuk menutup celah/lubang wadah kemasan sekligus menjaga kelembaban patih sagu.

Produktivitas yang dicapai dalam seminggu bisa mencapai 1-2 pohon sagu yang diolah. Keseluruhan proses pengerjaan dari penebangan, hingga pengemasan patih sagu ke wadah, membutuhkan waktu 14-21 hari dengan 4 orang tenaga kerja. Modifikasi dan pengembangan dari alat semi mekanis yang menggunakan tenaga mesin. Dari sisi efisiensi dan efektivitasnya mesin terbukti lebih unggul dibanding alat tradisional (Lemek). Produktivitas yang dicapai dalam seminggu bisa mencapai 2-3 pohon sagu yang diolah.

Keseluruhan proses pengerjaan dari penebangan, hingga pengemasan patih sagu ke wadah, membutuhkan waktu 10-12 hari dengan 3 orang tenaga kerja. Penggunaan alat pendukung pengolahan memiliki sedikit perbedaan yakni pada alat tebang pohon sagu, disamping menggunakan kapak, mesin pemarut patih, wadah penampung tepung sagu (goti) terbuat dari terpal dan penapisnya dari kain kelambu sedangkan wadah penimba air dari ember. Selebihnya dari peralatan yang digunakan adalah sama.

Sumberdaya sagu merupakan aset terbesar bagi masyarakatn sekitar hutan sagu, begitu pula Masyaraakat di Kampung yang masi memiliki dusun sagu. Jelas ketika sagu sudah dimanfaatkan oleh masyarkat lokal setempat dengan baik, maka secara tidak langsung sudah menjadi matapencarian yang memiliki nilai ekonomis tingi bagi masyarakat di kampung malawaor dan di beberapa wilayah di kabupaten sorong dan beberapa kabupaten sekitar. Contoh kampung malawor ini menjadi salasatu contoh yang mungkin bisa di contohi oleh kampung-kampung lain yang masi memiliki dusun sagu.

Dusun Sagu Diganti Paksa dengan Ladang Padi di Kampung Waijan Papua Barat

Saat ini lahan yang pernah dibuka Dinas Pertanian Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat tahun 2016 menjadi lahan tidur yang terbengkalai di Kampung Waijan, Papua Barat.

Pembukaan lahan tersebut ditujukan untuk mengganti dusun sagu untuk lahan pertanian padi. Rencana ini jelas akan mengubah tradisi makanan pokok orang Papua dari sagu dan umbi-umbian menjadi nasi.

Dalam proses pembukaan lahan baru tersebut, Dinas Pertanian melibatkan satuan militer Komandan Rayon Militer (Danramil) diatas dusun sagu milik Marga Napasau. Salah satu pemilik hak ulayat, Yanes Napasau menyatakan bahwa pembukaan lahan tersebut tidak meminta ijin kepada pemegang wilayah ulayat adat.

“Dinas terkait yang datang membongkar dusun kami tidak minta ijin sama kami. Mereka langsung masuk dengan alat berat mengusur dusun sagu kami. Masalah ini sudah kami laporkan kepada pihak yang berwenang, tetapi sampai saat ini belum ada kepastian penyelesaian yang jelas,” jelas Yanes.

Lebih lanjut Yanes menjelaskan kalau mereka adalah masyarakat awam yang ingin bertindak tetapi tidak memiliki uang. Untuk itu ia menghimbau pihak DPRD Kabupaten Raja Ampat agar dapat membantu Masyarakat Adat menyelesaikan persoalan tersebut.

Sedangkan Mika Napasau, salah satu pemuda adat menyerukan agar pihak-pihak yang telah merusak wilayah adat agar bertanggung jawab.
“Kami hidup berbaur dengan alam, alam merupakan ekosistem yang tidak pernah putus memberikan kehidupan bagi kami. Untuk itu, kami menghimbau kepada pihak pelaku agar dapat bertanggung jawab atas perbuatanya bagi kami Masyarakat Adat di Kampung Waijan,” ujar Mika.

Lebih lanjut Mika menegaskan, “Tolong jangan musnahkan makanan lokal kami dan jangan merusak hutan, dusun sagu karena itu tempat pertahanan terakhir bagi kami Masyarakat Adat yang tinggal di pinggiran belantara daun sagu,” tegas Mika.

Suku Moi Pulau di kampung Waijan , sangat dekat dengan hutan dan dusun sagu. Mereka selalu mengantungkan hidup dari hutan dan dusun sagu, sehingga mereka memiliki ikatan batin yang kuat dengan alam.

Seperti marga Napasau, salah satu marga asli di Pulau Salawati yaitu Suku Moi Fiawat yang tinggal di Kampung Waijan secara turun temurun telah mendiami wilayah adat di Kampung Waijan.

Feki Mobalen

(Bph Aman Sorong Raya)

Kami Bisa Hidup Tanpa Sawit, Tapi Kami Tak Bisa Hidup Tanpa Dusun Sagu

 

“Hutan dirusak, sagu dihancurkan demi penanaman seribu hektar kelapa sawit. Hati teriris, sedih, dan marah ketika melihat hal itu telah, sedang, dan akan terjadi di atas negeri leluhur kami.” Barangkali itulah yang dirasakan kebanyakan orang Papua, terutama Suku Moi di wilayah kepala burung (Sorong), yang sangat dekat dengan dusun sagu mereka.

Mengapa dikatakan demikian? Dasarnya adalah filosofi mereka; “Hutan dan dusun sagu adalah ibu bagi mereka”.Dusun sagu memberikan semua yang suku Moi butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Satu pohon sagu, ketika diolah dapat memberi tepung sagu yang akan mencukupi kehidupan sehari-hari bagi suku Moi. Dan banyak manfaat lain yang didapat dari dusun sagu.

Pohon sagu juga dapat menghasilkan makanan berupa; ulat sagu yang kaya akan protein dan ujung sagunya dapat dimakan, sangat bergizi dan alami. Apabila sudah membusuk, akan ditumbuhi jamur sagu yang kaya akan vitamin dan protein, juga bebas dari zat kimia.

Selain itu, ketika sudah membusuk dan kering akan menjadi pupuk kompos dan memiliki buah yang bisa dikonsumsi. Daun sagu juga sangat berguna. Ketika dijahit, daun sagu digunakan sebagai atap rumah dan bisa dijual sebagai salah satu penopang ekonomi masyarakat suku Moi. Ujung daun sagu juga dijadikan busana berupa rok, atau yang dikenal engan kain rumput. Juga kulit dari pelepah atau dahan sagu dikupas, dibersihkan atau dihaluskan, dijemur dan dijadikan bahan anyaman yang kerap dikenal olah masyarkat pada umumnya anyaman senat, kulit pelepah sagu yang dianyam.

Ini berfungsi sebagai penggati tikar tidur dan lain lain. Pelepah sagu digunakan sebagai tempat pengolahan sagu dan apabila kering, dijadikan sebagai alat untuk palu air atau menguras air. Juga, kulit sagu atau gagar sagu sangat berguna sekali. Gagar sagu dapat digunakan sebagai alas lantai rumah dan dapat dijadikan sebagai karya seni lain tergantung dari minat dan kreatifitas si perajin.

Pohon sagu sangat multifungsi bagi suku Moi. Suku Moi akan melindungi hutan dusun sagu dan budaya agar tetap ada dan menghijau dalam proses hidup.

Masyarakat Adat Tanam Sagu.

Tanah Tetap Basah. Ketika masyarakat adat suku Moi menanam sagu, tanah tetap basah dan terhindar dari kebakaran, karna masyarakat melakukan (kegiatan) proses penanaman sagu tidak menggunakan sistem monokultur. Penanaman ini menggunakan metode-metode sederhana yang sangat ramah lingkungan juga membiarkan tumbuhan atau tanaman lain tumbuh dengan bebas.

Berikut metode-metode tesebut tidak menebang semua tumbuhan yang berada di lahan yang akan ditanami sagu, tidak meratakan lahan yang akan ditanami sagu, tidak menutup dan menghambat saluran air yang mengalir di lahan yang akan ditanami sagu, membiarkan tanaman lain tumbuh dengan bebas bersama dengan tanaman sagu yang ditanam, tidak merusak ekosistem yang ada di lahan tempat masyarakat menanam sagu, tidak menggunakan zat kimia, dan bebas dari pencemaran lingkungan.

Perusahaan Tanam Sagu Beroperasi.

Tanah Kering dan Mudah Terbakar. Dampak yang nyata penanaman oleh perusahaan adalah tanah menjadi kering, ekosistem terganggu, dan mudah mengalami kebakaran. Sistem yang digunakan perusahaan dalam membuka lahan dengan sistem monokultur. Hal-hal demikian diuraikan pada kalimat berikut.

Penerapan sistem ini, yakni hutan ditebang hingga gundul, tanah diratakan, tanah kering dan sangat berpengaruh kepada keseimbangan ekosistem, pelepasan karbon yang sangat banyak dari hutan dan tanah tanpa memperhatikan dampaknya, lebih cenderung (mudah) terjadi kebakaran hutan dan dusun sagu, menggunakan zat kimia sebagai perangsang pertumbuhan, lingkungan tercemari dan cenderung berdampak pada keseimbangan ekosistem dan manusia yang mendiami wilayah suku Moi, ujungnya menghabiskan hutan, flora dan fauna, serta mengurangi sumber-sumber mata air.

Negara, harus memahami filosofi dasar suku Moi: “Dusun dan hutan merupakan mama bagi kehidupan mereka”.

Suara hati mengungkap; “Hai kaum penguasa, sadarlah terhadap manusia lain. Hargai dan hormatilah tatanan hidup suku Moi yang bergantung kepada dusun dan hutan mereka. Hanya satu kata yang terucap, jaga dan lawan mereka yang ingin merusak dusun dan hutan masyarakat adat suku Moi. Semoga!

Catatan refleksi

1. Banyak dusun sagu yang dihancurkan digantikan dengan dusun SAWIT dan DUSUSN SAWAH.
2. Telah terjadi perubahan pola makan di dapur Mama-mama Papua dari sagu ke beras atau yang dikenal dengan beras raskin.
3. Generasi muda hari ini hanya sebagian kecil yang tertarik untuk menjaga dan merawat dusun sagu.

Feki Mobalen
Ketua BPH AMAN Sorong Raya.

MASYARAKAT ADAT MERUPAKAN ENTITAS PEMBENTUK BANGSA.

 

 

 

 

Masyarakat adat dan iRndividu mempunyai kebebasan dan kesetaraan dengan masyarakat dan individu lainnya dan memiliki hak untuk terbebas dari segala macam jenis diskriminasi, hak melakukan identifikasi diri, serta memiliki kebebasan atas hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. Masyarakat adat juga mempunyai hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, kuasai, atau gunakan dan hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki. Mereka juga berhak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang dapat berdampak pada hak mereka.

Sikap pemerintah Indonesia atas keberadaan masyarakat adat, yang merupakan bagian terbesar dari konstituen yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), masih gamang. Padahal, masyarakat adat eksis dengan mendiami tanah ulayat (adat) yang tersebar di pegunungan, hutan rimba, dan kepulauan di Nusantara, yang umumnya kaya akan sumber daya mineral dan alam.

HUKUM YANG DILANGGAR RESIM PRESIDEN JOKOWI TERHADAP HAK KONSTITUSI MASYARKAT ADAT !!

Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah pusat, kementerian, gubernur serta bupati untuk mempercepat proses proses investasi (kapitalisme) asing dan nasional di Indonesia. Bahkan dengan menutup mata. Adalah pelanggaran konstitusional dan pelanggaran HAM masyarakat Adat di Indonesia, secara khusus Masyarkat Adat Papua.

SECARA INTERNASIONAL, PELANGGARAN ATAS

1. Deklarasi universal HAM 1948
2. Konvensi ILO No 169 tahun 1989
3. Pengesahan Deklarasi Masyarakat Adat September 2007

SECARA NASIONAL, PELANGGARAN ATAS

1.UUD 1945 pasal 18 B ayat 2
2. UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 6 ayat 1 dan 2
3. UU No 32 Tahun 2004 Bab 1 pasal 1 angka 12
4. Keputusan MK No 35/PUU-X/2012 (intinya status hutan negara dan adat)
5. Peraturan Mendagri No 52. Tahun 2007, Bab II pasal 2
6. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 2015, tentang penetapan komunal atas tanah masyarakat adat.

TINGKAT PROVINSI, PELANGGARAN ATAS

1. UU OTSUS 2001
2. Perdasus Prov. papua no 20 thn 2008, peradilan adat
3. Perdasus Prov. Papua no 21 tahun 2008, hutan berkelanjutan di provinsi Papua
4. Perdasus Papua no 22 tahun 2008 tentang perlindungan SDA Masyarakat adat Papua
5. Perdasus papua no 23 tahun 2008 tentang hak Ulayat masyarakat hukum adat dan perorangan.
6. Perdasi No 14 tahun 2013 tentang RPMJ provinsi Papua – pendekatan pembangunan berbasis wilayah dan budaya

Saat ini, masyarakat adat Papua dan wilayah adatnya sedang mengalami tekanan proyek pembangunan negara, dan gempuran ekspansi bisnis ekstraksi dan eksploitasi hasil hutan, tambang dan lahan, yang berlangsung dalam skala luas.

Secara struktural, negara menggunakan kuasanya memproduksi kebijakan peraturan, perizinan dan syarat-syarat untuk memperlancar aktifitas pembangunan ekonomi dan bisnis, pemberian hak atas tanah dan pengamanan kegiatan berinvestasi, yang dikendalikan dan dijalankan oleh pengusaha pemilik modal, yang meraup manfaat keuntungan ganda dalam lingkaran bisnis tersebut.

Masyarakat adat penguasa dan pemilik tanah dan hutan adat mengalami ketergusuran berlapis-lapis, tersingkir hak dan aksesnya atas sumber mata pencaharian dan sumber pangan, mengalami kekerasan, intimidasi, penyiksaan hingga pembunuhan, dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), melibatkan aparatus keamanan negara dan pelaku non pemerintah, seperti security perusahaan, mafia, preman dan sebeagainya. Mereka terpaksa menjadi buruh dan dipaksa patuh pada aturan-aturan perusahaan, yang tidak adil, diskriminatif dan rasis.

Dalam hal ini, hak konstitusional masyarakat adat Papua yang mendasar untuk menjamin harkat dan martabat hidup, serta keberlangsungan lingkungannya, belum mendapatkan perlindungan dan penghormatan negara. Sebaliknya perampasan dan pengabaian atas hak-hak tersebut menimbulkan ketegangan, kerugian dan konflik, yang masih terjadi hingga saat ini. Demikian pula, kebijakan dan model pembangunan skala luas tersebut terbukti menjadi salah satu sumber penyebab pandemic Covid19 yang berdampak buruk terhadap ratusan juta penduduk di dunia dan mengancam keselamatan manusia.

Kami secara khusus hendak menyoroti dan menekankan praktik dan dampak program pembangunan dan ekspansi bisnis tersebut terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat Moi di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), pembangunan infrastruktur, proyek percetakan sawah baru, usaha pertambangan, pembalakan kayu dan perkebunan kelapa sawit, dan sebagainya, yang masih belum sepenuhnya memberikan keadilan, belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat, terjadi kesenjangan pendapatan antara masyarakat dan dengan perusahaan semakin lebar, masih sulit dan terbatasnya akses masyarakat mendapatkan fasilitas sosial, kesehatan, pendidikan dan sebagainya, hal ini tidak sebanding dengan nilai dan sumberdaya yang hilang.

SESUNGGUHNYA MASYARAKAT ADAT ADALAH SUATU BADAN HUKUM (LEGAL ENTITY) YANG MEMPEROLEH LEGALITAS DAN LEGIMASI DARI SEJARAH DAN PERATURAN PERUNDANGAN NEGARA. JIKA NEGARA MENOLAK DAN MENGAKUI MASYARAKAT ADAT, MAKA SOLUSI UNTUK ITU ADALAH MELAWAN KEJAHATAN NEGARA.

#Sahkan RUU Masyarkat Adat
#Himas 2020
#Rakernas AMAN
#Masyarkat Adat Papua
#Indigenous Peoples
#Kedaulatan Pangan
#Berdaulat Mandiri dan Bermartabat

 

Feki Mobalen

(Ketua Bph-Aman Sorong Raya)

APAKAH KEK ITU SOLUSI BAGI SUKU MOI.

Admin: Yakub Klagilit.

Oleh  Feki Mobalen, BPH Aman Sorong Raya

 

Kota Sorong atau yang lebih dikenal dengan sebutan kota minyak, di mana Nederlands  Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) mulai melakukan aktivitas pengeboran minyak bumi di sorong sejak tahun 1935. Sorong merupakan kota terbesar di daerah kepala burung (vogel koop) yang dikenal dengan sebutan Provinsi Papua Barat sekaligus kota terbesar kedua di Papua setelah Jayapura.

 

NNGPM merupakan salah satu perusahaan besar di dunia yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda. Perusahaan ini bergerak pada penambangan dan minyak (minyak bumi dan gas/migas). Kemudian pada tahun 1950/7 sahamnya dijual ke Permina kini PT. Pertamina.

 

Pada 2000-an, dikenal dengan periodik perkebunan (perkebunan kelapa sawit). Perkebunan kelapa sawit ini berada dalam kawasan tanah adat atau wilayah adat. Alasan mengapa saya bilang perkebunan di dalam kawasan tanah adat wilayah adat, karena merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 B ayat 2. Paska amandemen kedua di dalam pasal tersebut juga berbicara tentang pengakuan dan reclaiming dan mengakui suatu keberadaan masyarakat hukum adat (Pasal 18 B ayat 2, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang).

 

Kemudian Putusan MK nomor 35/PUU-X/2012 menegaskan kembali bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Adat, dan bukan lagi sebagai hutan negara. Hal ini juga dijamin oleh UU 21 tahun 2001 tentang OTSUS BAB XI yang membahas tentang “Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat”. Selain UU OTSUS, pada tahun 2018 lahir pula Perdasus Nomor 21, 22, 23 yang  mengklaim wilayah Papua adalah wilayah adat.

 

Di Kabupaten Sorong sendiri ada satu regulasi yang mengatur yaitu Perda No.10 tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Yang kemudian secara riil mengklaim bahwa wilayah Moi itu diatur secara stuktural melalui mekanisme-mekanisme aturan itu sendiri.

 

Nah mengapa tadi saya bilang investasi ada di wilayah adat karena negara sendiri memberikan pengakuan dan jaminan melalui peraturan dan mekanisme aturan undang-undang bagi Masyarakat Adat. Kemudian sekarang bagaimana proses-proses pelecehan terhadap konstitusi itu dilakukan oleh para penegak hukum yang kemudian mengeluarkan aturan-aturan itu bisa saja kita bilang bahwa Kabupaten Sorong merupakan wilayah industri.

 

Mengapa saya bilang begitu? Karena hari ini proses investasi masih masif di wilayah Kabupaten Sorong. Ada perkebunan, minyak, gas, tambang, dan bahkan di tahun 2016 Kemenko (Kementrian Perekonomian) meresmikan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang kemudian penetapannya ada di distrik Mayamuk dengan luas areal sekitar 500 Ha yang diperuntukkan untuk suplai logistik, tambang batu bara, gas, perkebunan dan perikanan air laut. Semua itu berada di dalam Kabupaten Sorong yang hari ini dkenal dengan wilayah Suku Moi itu sendiri.

 

Saya sedikit mengutik ke belakang. Bahwa jauh sebelum investasi itu, ada masyarakat Suku Moi sudah sangat jauh sekali bergantung pada pada alam, hutan, dusun, kali/suangi tempat di mana dia berada. Karena menurut filosofi orang Moi sendiri bahwa hutan, dusun atau wilayah adat itu adalah mama bagi orang Moi. Mengapa disebut mama? Karena hutan memberikan kehidupan bagi orang Moi dan memberikan semua hal yang orang Moi butuhkan.

 

Ketika dia butuhkan sagu, dia akan pergi ke dusun. Ketika dia membutuhkan sayur dia ke hutan, ketika dia butuhkan ikan akan pergi mancing. Ketika dia butuh daging dia ke hutan untuk berburu, ketika dia butuh obat ada obat-obatan di dalam hutan yang sudah tersedia. Ketika dia butuh keindahan dia ke hutan untuk melihat anggrek yang memiliki nilai estetika yang menarik, melihat burung cenderawasih dan melihat hal-hal lain yang menarik dalam hutan.

 

Tetapi hari ini, investasi telah mengubah semua hal yang kaya di atas wilayah adat itu kemudian diubah menjadi perkebunan monokultur. Mengapa saya bilang monokultur, dari tanaman yang begitu beragam di dalam wilayah adat kemudian dirombak menjadi suatu jenis tanaman yaitu perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit ini bentuknya monokultur, artinya mengubah keberagaman menjadi satu dan kemudian siapa pun yang berada di dalam perkebunan monokultur adalah hama. Dalam teori ilmu pertanian, disebut hama itu seperti binatang di hutan (babi, tikus). Jadi semua manusia yang ada di perkebunan kelapa sawit itu dibilang babi atau tikus.

 

Ini sesuatu hal yang menurut saya ada hal yang salah di dalam pandangan. Kemudian melihat bagaimana dari proses NNGPM yang kemudian dipelopori oleh VOC. Tetapi bagaimana perkebunan sampai dengan hari ini tidak ada satu dampak signifikan bagi orang Moi itu sendiri. Kenapa saya mengatakan demikian? Karena sampai dengan hari ini ketika kita telusuri berapa banyak profesor yang orang Moi, berapa doktor? Berapa sarjana (S1) orang Moi, berapa Master (S2), berapa dosen, berapa guru dan lain-lain. Berapa rumah sakit yang kemudian menjamin hak orang Moi mengakses kesehatan gratis? Berapa pendidikan yang kemudian mengakses hak orang Moi itu gratis dan lain-lain.

 

Sampai dengan hari ini investasi yang sudah marak terjadi di atas wilayah ini kemudian diperuntukkan sebagai wilayah industri. Akses dan pengakuan hak itu selesai secara teori hukum. Tetapi kemudian implementasi di lahan itu tidak menjamin substansi dari objek-objek awal Masyarakat Adat Moi. Di sini saya ingin kritik dan menegaskan bahwa negara sebagai wadah yang bertanggung jawab penuh terhadap kemakmuran rakyat, kedaulatan rakyat harus ada suatu proses yang dilakukan.

 

Pertama, membentuk tim panitia khusus (pansus). Entah itu dari DPR RI Komisi V ataupun DPD RI ataupun lahir dari DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten. Untuk kemudian peninjauan ulang terhadap semua izin investasi di atas kepala burung untuk direvisi. Apakah izin-izin tersebut sudah sesuai prosedural. Kedua, ketika ada izin bermasalah, silakan dicabut. Dan kemudian perusahaan yang sudah beroperasi, tapi tidak sesuai prosedural harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Ketiga, bagaimana proses-proses pergantian ganti rugi kepada Masyarakat Adat itu sendiri. Keempat, bagaimana Masyarakat Adat.

***