Keluarga Besar Pd AMAN Sorong Raya Mengucapkan. SELAMAT HARI KEBANGKITAN MASYARAKAT ADAT.

20 Tahun lalu tepatnya 17 Maret 1999 seluruh Tokoh adat se Nusantara berkumpul di Jakarta dalam rangka meyepakati bersama tentang pentingnya posisi Masyarakat adat didalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena selama orde Baru Masyarakat begitu terpinggirkan dan termajinalkan dan dipandang sebelah mata.

Banyak ruang ruang hidup Masyarakat Adat dirampas atas nama negara, nilai niali yg dianut yg salah satunya adat tradisi yg dilaksanakan turun temurun dianggap perilaku yg terbelakang dan dianggap Masyarakat yg tertinggal, maka berdasarkan perlakuan semacam itu oleh penguasa maka seluruh tokoh adat se Nusantara bersepakat dan bertekad untuk mewujudkan 3 cita cita besar Masyarakat Adat yaitu,

#Berdaulat secara politik

#Mandiri secara ekonomi

#Bermartabat secara budaya.

Tiga cita cita besar ini perlu diwujudkan untuk membangun kesetaraan Masyarakat adat dengan komponen Bangsa didalam mendapatkan Hak sebagai Masyarakat Adat.

Yang di ataur oleh hukum Internasional dan Deklarasi Hak Asasi manusia.

Masyarakat Adat mempunyai hak terhadap penikmatan penuh, untuk secara bersama-sama atau secara sendiri – sendiri, semua hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar yang diakui dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan hukum internasional tentang hak asasi manusia.

Masyarakat Adat dan warga-warganya bebas dan sederajat dengan semua kelompok-kelompok masyarakat dan warga-warga lainnya, dan mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam menjalankan hak-hak mereka, khususnya yang didasarkan atas asal-usul atau identitas mereka.

Masyarakat Adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut, mereka secara bebas menentukan status Politik mereka dan secara bebas mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

Masyarakat Adat mempunyai hak untuk menjaga dan memperkuat ciri-ciri mereka yang ada dibidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan institusi-institusi budaya, serta tetap mempertahankan hak mereka untuk berpatisipasi secara penuh, jika mereka menghendaki, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka.

Setiap warga masyarakat Adat mempunyai hak atas suatu kebangsaan.

Warga-warga masyarakat adat memiliki hak utuh atas kehidupan, keutuhan fisik dan mental, kemerdekaan dan keamanan sebagai seseorang.

Masyarakat Adat memiliki hak kolektif untuk hidup bebas, damai dan aman sebagai kelompok masyarakat yang berbeda dan tidak boleh menjadi target dari tindakan genosida apapun atau tindakan-tindakan pelanggaran lainnya, termasuk pemindahan anak-anak secara paksa dari sebuah kelompok ke kelompok lainnya.

Masyarakat adat dan warga-warganya memiliki hak untuk tidak menjadi target dari pemaksaan percampuran budaya atau pengrusakan budaya mereka.

Negara akan menyediakan mekanisme yang efektif untuk mencegah, dan mengganti kerugian atas:

(a) setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau berakibat pada hilangnya keutuhan mereka sebagai kelompok masyarakat yang berbeda, atau dari nilai-nilai kultural atau identitas etnik mereka;

(b) setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau berakibat pada tercerabutnya mereka dari tanah, wilayah atau sumber daya mereka;

(c) setiap bentuk pemindahan penduduk yang mempunyai tujuan atau berakibat melanggar atau mengurangi hak apa pun kepunyaan mereka;

(d) Setiap bentuk pemaksaan pencampuran budaya atau penggabungan dengan budaya lain;

(e) setiap bentuk propaganda yang mendukung atau menghasut diskriminasi rasial atau diskriminasi etnis yang ditujukan langsung untuk terhadap mereka.

Jangan menghilangkan atau merusak budaya dari masyarakat adat ini, dan kemudian menggantikan dengan budaya campuran dari luar masyarakat adat setempat. Oleh karena itu apabila ada terjadi pelanggaran mendasar sesuai Pasal 8 ayat 1, ayat 2 bagian a, b, c, d, dan e maka wajib dan harus dibayarkan ganti rugi (Kompensasi).

Masyarakat Adat dan warga-warga Adat mempunyai hak untuk menjadi bagian dari suatu komunitas atau bangsa, sesuai dengan tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan dari komunitas atau bangsa tersebut. Tidak ada diskriminasi apa pun yang boleh timbul akibat dari penikmatan hak tersebut.

Masyarakat Adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil.

Dilarang memindahkan masyarakat Adat dengan paksa dan dengan penuh teror dan intimidasi yang berlebihan, tanpa menghiraukan hak-hak kebebasan mereka.

  1. Masyarakat Adat mempunyai hak untuk mempraktikkan dan memperbarui tradisi-tradisi dan Adat budaya mereka.

Hal ini meliputi hak untuk mempertahankan, melindungi dan mengembangkan wujud kebudayaan mereka di masa lalu, sekarang dan yang akan datang, seperti situs-situs arkeologi dan sejarah, artefak, disain, upacara-uparaca, teknologi, seni visual dan seni pertunjukan dan kesusasteraan.

  1. Negara-negara akan melakukan pemulihan melalui mekanisme yang efektif termasuk restitusi, yang dibangun dalam hubungannya dengan masyarakat Adat, dengan rasa hormat pada kekayaan budaya, intelektual, religi dan spiritual mereka, yang telah diambil tanpa persetujuan bebas dan sadar dari mereka, atau yang melanggar hukum-hukum, tradisi dan Adat mereka.
  2. Masyarakat adat mempunyai hak untuk memperbaharui, menggunakan, mengembangkan dan mewariskan kepada generasi-genarasi yang akan datang sejarah, bahasa, tradisi lisan, filsafat, sistem tulisan dan kesusasteraan, dan untuk menandakan dan menggunakan nama mereka sendiri untuk komunitas-komunitas, tempat-tempat dan orang-orang.
  3. Negara-negara akan mengambil upaya-upaya efektif untuk memastikan bahwa hak ini terlindungi dan juga untuk memastikan bahwa mereka dapat mengerti dan dimengerti dalam proses politik, hukum dan administratif, di mana diperlukan melalui ketentuan penafsiran atau cara lain yang sesuai.

Semua bentuk budaya, seni, tradisi, sejarah masyarakat Adat, harus diwariskan kepada generasi baru agar menjaga dan melestarikannya. Termasuk penempatan nama-nama kampung, jalan, kota dan lain-lain.

  1. Masyarakat Adat memiliki hak untuk membentuk dan mengontrol system pendidikan mereka dan institusi-institusi yang menyediakan pendidikan dalam bahasa mereka sendiri, dalam suatu cara yang cocok dengan budaya mereka tentang pengajaran dan pembelajaran.
  2. Warga-warga masyarakat Adat termasuk anak-anak memiliki hak atas pendidikan yang diselenggarakan oleh Negara dalam semua tingkatan dan bentuk, tanpa diskriminasi.
  3. Negara-negara, bersama dengan masyarakat Adat akan mengambil langkah-langkah yang efektif, agar warga-warga Adat terutama anak-anak,termasuk warga-warga yang tinggal di luar komunitas mereka, untuk memiliki akses, jika mungkin, atas pendidikan dalam budaya mereka sendiri dan disediakan dalam bahasa mereka sendiri.
  4. Masyarakat Adat mempunyai hak atas martabat dan keragaman budaya, tradisi, sejarah, dan aspirasi-aspirasi mereka yang secara jelas tercermin dalam semua bentuk pendidikan dan informasi publik.
  5. Negara-Negara akan mengambil langkah-langkah yang efektif, dalam konsultasi dengan masyarakat yang bersangkutan, untuk melawan prasangka dan menghapus diskriminasi dan untuk memajukan toleransi, saling pengertian yang baik antara masyarakat Adat dengan semua unsur masyarakat yang lain.

Dilarang melanggar hak-hak masyarakat Adat, yang sesuai dengan Pasal 15 ayat 1 dan ayat 2 ini. Sebab hak-hak ini adalah hak yang fundamental, dan tidak boleh dilanggar.

  1. Masyarakat Adat mempunyai hak untuk membentuk media mereka sendiri dalam bahasa-bahasa mereka sendiri, dan memiliki akses terhadap semua bentuk media umum tanpa diskriminasi.
  2. Negara-negara akan mengambil tindakan-tindakan yang efektif untuk memastikan bahwa media yang dimiliki oleh negara sepatutnya mencerminkan keragaman budaya masyarakat Adat. Negara, tanpa prasangka memastikan kebebasan penuh atas ekspresi, dan mendorong media yang dimiliki perseorangan untuk mencerminkan secara cukup keanekaragaman budaya masyarakat Adat.

Sudah seharusnya tidak ada kriminilasi tokoh adat ketika memperjuangkan wilayah adatnya karena sebelum negara ada, bahkan jauh sebelum penjajahan sebelum zaman kerajaan Masyarakat Adat sudah ada melalui kelompok kelompok kecil Masyarakat yg setiap kelompoknya memiliki teritorial dihormati dan kaidah Hukum yg ditaati oleh masing masing komunitas.

Dengan Penuh Semangat:

Keluarga Besar PD AMAN Sorong Raya Mengucapkan.

Selamat Hari Kebangkitan Masyarakat Adat

#2DekadeMasyarakatAdatBangkit

#BangkitBersatu

#BerdaulatMandiriBermartabat

#20TahunAMAN

#MembelaMelindungiMelayani

#MasyarakatAdat

#IndigenousPeoples

#20YearsAMAN

#HKMAN2019

 

Feki Mobalen

BPH AMAN Sorong Raya

Pernyataan Sikap AMAN Sorong Raya Terkait Pengepungan, Penyerangan Mahasiswa Papua dan Stigma Rasis ‘Monyet’ terhadap Orang Papua.

AMAN Sorong Raya mengutuk keras pengepungan, penyerangan dan stigma terhadap orang Papua yang dikatakan “MONYET” oleh sekelompok anggota organisasi masyarakat (ormas) dan aparat negara (polisi dan tentara) terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Kasus ini merupakan yang kesekian kalinya terjadi. Tahun 2016 peristiwa serupa terjadi di Jogja bagi kawan-kawan mahasiwa. Pada 2018 julukan ini juga dituduhkan bagi orang Papua: Saudara Natalis Pigai dan di 2019 kata monyet itu terjadi kembali bagi orang Papua yang ironisnya itu terjadi pada saat peringatan 74 tahun Indonesia merdeka.

Secara khusus kami mengutuk anggota TNI dan Polri yang terlibat sebagai dalang ricuh dan stigma terhadap mahasiswa Papua. Dan juga tindakan yang dilakukan oleh ormas ini secara tidak langsung menyalakan api dalam sekam di Papua dan tidak menunjukkan mereka sebagai orang yang bermartabat dan beragama.

Indonesia sedang menyalakan api dalam sekam, menyalakan api kemarahan bagi orang Papua. Cepat atau lambat orang Papua akan memilih bernegara sendiri lepas dari Indonesia. Karena lebih baik monyet sekolah di rumah manusia daripada manusia cari hidup di rumah monyet.

Papua diintegrasi (anekesasi) oleh Indonesia pada 1 Mei 1963. Empat tahun kemudian (1967) wilayah Papua dijadikan target pertama penanaman modal asing di Indonesia.

Lewat Undang Undang Penanaman Modal Asing yakni perusahan raksasa PT. Freeport pada tahun 1967 diizinkan Indonesia mencaplok 2,6 juta hektar yang menyebabkan rusaknya tatanan masyarakat Papua di Timika. Belum lagi dengan dibukanya perusahaan minyak dan gas, serta perusahaan sawit pertama di Sorong tahun 1982 dan Keerom pada tahun 1984, serta mega proyek MIFEE di Merauke yang telah merusak lebih dari puluhan juta hektar wilayah masyarakat adat hingga sekarang ini. Dan atas nama pembangunan, pemerintah menggunakan militer serta berbagai kekuatan legal Indonesia demi memuluskan pembangunan dan kepentingan ekonomi nasional serta investasi asing, yang mengakibatkan pelanggaran kemanusiaan secara masif di Papua hingga sekarang ini.

Setelah berakhirnya orde baru dan digantikan dengan era reformasi, percepatan pembangunan dilakukan dengan mengubah pola sentralistik menjadi desentralisasi (UU 22 tahun 1999) dan diberikan otonomi khusus (Tap MPR IV/1999) sebagai langkah Indonesia untuk meredam aspirasi merdeka rakyat Papua. Selain itu selama proses pembangunan (investasi), kaum transmigran terus berdatangan untuk mencari hidup dan sekaligus menjalankan program pemerataan penduduk dan didukung oleh sistem negara, sehingga menciptakan diskriminasi antara orang Papua dan pendatang akibat kepentingan pembangunan negara, yang terdampak pada terpinggirnya orang Papua di tanahnya sendiri serta konfilik-konfilik horizontal yang merupakan kegagalan negara dalam menunjung nilai-nilai hak asasi manusia.

Dan selama berlangsungnya pemerintahan ala otonomi khusus di Papua, berbagai investasi masuk begitu cepat dan masif, mulai dari kepentingan pendapatan negara hingga kepentingan pemodal asing, dan menurut catatan Papua dalam Angka Tahun 2018 serta Oke Finance bahwa jumlah perusahaan dan industri di Papua telah mencapai 9.053 yang tersebar di seluruh Tanah Papua. Serta Freeport yang menghasilkan 116 miliar per hari (catatan ahli Geolog pada tahun 2017), lalu MIFEE dan perusahaan sawit besar di Papua yang telah meraup keuntungan hingga 200 triliun rupiah (Sawit Watch 2017), dan masih banyak lagi kepentingan investasi lainnya yang dilancarkan atas nama pembangunan dan ekonomi nasional Indonesia yang telah menghancurkan peradaban Orang Asli Papua.

Dan eksistensi investasi tersebut didukung penuh oleh kekuatan dan kebijakan negara, seperti kata Presiden Indonesia, Joko Widodo pada 12 Maret 2019: “…bupati, walikota, gubernur, kalau ada investor yang berkaitan dengan industri apa pun, tutup mata, beri izin”, dalam Rapat Kordinasi Nasional Investasi, Tangerang. Pernyataan ini secara resmi melegitimasi apa pun kepentingan negara dan pemodal demi kemajuan ekonomi dan target pembangunan Indonesia.

Inti Kebun Sejahtera yang juga anak perusahaan KLIG beroperasi sejak 2008. Awalnya PT. IKS yang beroperasi di Salawti sejak 2008, hanya memegang Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah seluas 4.000 hektar. KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) di Kabupaten Sorong yang hampir menguasai kawasan di wilayah sub Suku Moi Segin dan keberadaanya di dalam wilayah masyarakat adat ini berpotensi merampas wilayah adat Moi. Dan KEK ini untuk siapa?

Kebijakan percepatan perluasan lahan perkebunan sawit yang mencaplok wilayah adat masih di Kabupaten Sorong dan proses invansi perluasan pun masih sedang terjadi dan meluas ini juga berada di dalam wilayah masyarakat Adat Moi. Kebijakan Perhutanan Sosial dan TORA di wilayah adat yang melecehkan konstitusi; kenapa demikian dikarenakan kebijakan tersebut bertentangan dengan Undang Undang 21 tentang Otonomi Khusus Papua atau bagi masyarakat adat Papua, penyerobotan tanah / wilayah masyarakat adat yang masif untuk investasi, masuknya transmigrasi non Papua yang tinggi di wilayah adat Moi dan ini berdampak pada teracamnya pangan lokal mematikan pedagang lokal Papua atau komunitas adat yang sedang berkembang di wilayah adat.

Karena itu, AMAN Sorong Raya mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan sebagai berikut:

  1. Kapolda Papua dan Papua Barat segera memastikan rasa aman bagi rakyat Papua di mana pun berada di Papua dan Papua Barat.
  2. Gubernur Surabaya segera bertanggung jawab dengan situasi yang terjadi terhadap mahasiwa Papua dan Kapolri menindak tegas aparat negara dan ormas yang terlibat dalam aksi-aksi kekerasan terhadap 43 mahasiswa asal Papua di Surabaya.
  3. Negara harus serius untuk penyelesaian kasus rasis yang terjadi bagi orang Papua.
  4. Tarik semua pasukan TNI dan Polri yang bertumpukan dan juga baru berdatangan di Papua.
  5. Presiden Jokowi segera memberikan jaminan bagi rakyat Papua; rasis tidak akan ada lagi bagi orang Papua.
  6. Kekerasan dan stigma monyet terhadap orang Papua sangat merendahkan harkat dan martabat orang Papua dan berpotensi konflik berkepanjangn bagi orang Papua dan non Papua. Oleh karena itu, AMAN Sorong Raya mengutuk tegas.

 

Sorong 20 Agustus 2019

Fecki Mobalen

Ketua BPH AMAN Sorong Raya